Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan perkara yang dimohonkan oleh dr. Anny Isfandyarie Sarwono, Sp.An., SH. dkk. tersebut diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Selasa (19/6) di ruang sidang MK jalan Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat.
Dalam Putusan yang diucapkan bergiliran oleh para Hakim Konstitusi, MK berpendapat bahwa ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun, yang ditentukan dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, serta ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun, yang diatur dalam Pasal 79 huruf a UU Praktik Kedokteran telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan. Menurut MK, hal tersebut sebagai akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Sebaliknya, bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan juga dirugikan. Padahal, MK menganggap pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, ancaman pemidanaan berupa pidana penjara dan pidana kurungan yang terdapat dalam Pasal 75 Ayat (1) dan Pasal 76 UU Praktik Kedokteran selain tidak sesuai dengan filsafat hukum pidana, tidak sejalan pula dengan maksud Pasal 28G Ayat (1) UUD1945.
Selain itu, MK juga berpendapat perbuatan tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi bukan merupakan tindak pidana. Sehingga Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran yang memasukkan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana dan mengancamnya dengan pidana kurungan atau denda, bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan adalah hak.
Sementara itu, dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., tersebut, permohonan para Pemohon terkait dengan pembatasan tiga tempat praktik yang diatur dalam Pasal 37 Ayat (2) UU Praktik Kedokteran tidak dikabulkan oleh MK atau ditolak. MK berpendapat pembatasan tiga tempat praktik akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kesehatan dokter secara fisik dan psikis sehingga dalam memberikan analisa dan diagnosa kepada pasien dapat dilakukan secara tepat karena dilakukan secara berhati-hati, cermat, dan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan standar profesi medik yang disesuaikan secara situasional dan kondisional. Selain itu, pembatasan tiga tempat praktik juga dapat memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) dan perlindungan hukum (rechtsbescherming) baik kepada dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan (health provider) maupun kepada pasien penerima jasa pelayanan kesehatan (health receiver). Selain itu, pembatasan tersebut juga akan menciptakan pemerataan kesempatan bagi para dokter muda untuk mengamalkan ilmunya.
Namun, tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter dalam kondisi darurat walaupun berada di luar ijin tempat praktik yang dimilikinya, MK berpendapat sekaligus menegaskan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan tindak pidana yang dimaksud oleh ketentuan Pasal 79 huruf a juncto Pasal 41 Ayat (1) maupun ketentuan Pasal 37 Ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Dengan demikian, perlindungan kepentingan masyarakat di satu pihak dan kepentingan dokter atau dokter gigi di pihak lain dapat dilakukan secara secara seimbang.
Pendapat Berbeda
Dalam persidangan tersebut, muncul pula pendapat berbeda (dissenting oppinioni) yang disampaikan oleh tiga orang hakim konstitusi. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, SH. dan Dr. H. Harjono, SH., MCL. menganggap pembatasan tiga tempat praktek bagi dokter dan dokter gigi telah mengakibatkan sebagian masyarakat tidak dapat memperoleh haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Kedua hakim tersebut menganggap jumlah dokter atau dokter gigi, terutama dokter spesialis, yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk serta kondisi demografi dan geografi yang amat bervariasi seharusnya menjadi pertimbangan pembuat undang-undang sebelum merumuskan Pasal 37 Ayat (2) UU Praktek Kedokteran tersebut. Ketiadaan ketentuan yang memberi ruang sebagai pengecualian bagi kondisi wilayah dan kebutuhan spesialisasi keahlian tertentu, telah menyebabkan timbulnya kepincangan dan ketidakadilan,ungkap Maruarar.
Sementara Hakim Konstitusi lain, Prof. Dr. HM. Laica Marzuki, SH, menganggap pasal-pasal (ayat-ayat) UU Praktik Kedokteran yang dimohonkan tidak ternyata mengandung unsur sifat melawan hukum. Pelanggaran terhadap pembatasan izin praktik bagi dokter dan dokter gigi untuk berpraktik hanya pada tiga tempat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 Ayat (2) juncto Pasal 76 UU Praktik Kedokteran, tidak dapat dipandang bertentangan dengan hukum pidana karena berpaut belaka dengan pengaturan administrasi negara (regelend daad van de administratie), ujarnya.
Selain itu, menurut Hakim Konstitusi yang juga Wakil Ketua MK tersebut, Surat Izin Praktik merupakan keputusan tata usaha negara (K.TUN, beschikking) sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai pasal-pasal (ayat-ayat) perbuatan pidana karena tidak ternyata mengandung unsur sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Pasal-pasal (ayat-ayat) UU Praktik Kedokteran yang dijadikan pasal-pasal (ayat-ayat) perbuatan pidana tersebut juga pada hakikatnya tidak melindungi diri pribadi, kehormatan, martabat para Pemohon. Pasal-pasal tersebut juga menimbulkan rasa tidak aman dan ancaman ketakutan dalam menjalankan profesi pelayanan kesehatan terhadap orang banyak. (Ardli)