Pakar Hukum Pidana Saint Louis University School of Law, Berkeley, Amerika Serikat, Stephen C. Thaman menjelaskan jaksa dan polisi dapat melakukan penyidikan bersama dalam sistem hukum pidana modern. Model ini dipergunakan di Inggris dan Amerika guna menyederhanakan proses dan mempersingkat waktu dari penyidikan hingga pelimpahan perkara ke pengadilan. Pendapat tersebut disampaikan Thaman melalui video conference dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selasa (29/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 123/PUU-XIII/2015 dan 130/PUU-XIII/2015 tersebut masing-masing diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dan Choky Risda Ramadhan, Carlos Boromeus Beatrix Tuah Tennes, Usman Hamid, dan Andro Supriyanto yang tergabung dalam Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI).
Thaman yang dihadirkan oleh para Pemohon sebagai ahli dalam persidangan tersebut juga menilai polisi dapat melakukan pemeriksaan tanpa pengawasan jaksa.
“Dalam kenyataan, Inggris tidak mempunyai jaksa sampai saat yang belum lama ini. Pada dasarnya, jaksa penuntut akan memutuskan menerima pemeriksaan dari polisi untuk melanjutkannya dengan penuntutan atau tidak,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Menyambung pernyataan Thaman, Andi Hamzah selaku ahli Pemohon lainnya, menjelaskan harus adanya penyusunan kembali KUHAP guna menyederhanakan sistem seperti halnya negara lain. Ia mengungkapkan rancangan perubahan KUHAP sebaiknya disesuaikan dengan kemajuan teknologi.
“Dengan kemajuan teknologi, harus ada perubahan perundang-undangan. KUHP Belanda dan KUHAP Belanda hampir tiap tahun diubah, tidak sama lagi dengan KUHP kita yang sekarang. Hampir tiap tahun diubah karena ada kemajuan teknologi yang harus diikuti oleh perundang-undangan. Jadi tidak ada P-19, tidak P-21, setelah perkara diserahkan kepada jaksa selesai sekarang P-21, tidak ada lagi hubungan antara penyidik dengan jaksa,” paparnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengujikan beberapa norma, yaitu Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 139 dan Pasal 14 huruf i. Menurut Pemohon perkara 123/PUU-XIII/2015, frasa “segera” dalam UU a quo tidak memberikan jangka waktu yang pasti, sehingga tidak menjamin dan memberikan ruang bagi seorang tersangka untuk mendapatkan kepastian hukum. Bahkan dalam rancangan KUHAP, permasalahan mengenai batasan jangka waktu penyidikan pun mendapat perhatian.
Hak tersangka untuk diperiksa penyidik, dimajukan dan diadili di persidangan dalam hukum acara saat ini hanya berupa kata “segera”, maka dalam rancangan KUHAP diatur lebih limitatif, yakni pemeriksaan oleh penyidik dilakukan satu hari setelah ditangkap/ditahan. Penyerahan kepada penuntut umum adalah enam puluh hari (jika ditahan) dan sembilan puluh hari (jika tidak ditahan), sedangkan hak untuk segera diadili di persidangan adalah empat belas hari dan dapat diperpanjang selama empat belas hari.
Pemohon menilai keberadaan aturan tersebut dapat menghambat upaya Pemohon dalam menjaga dan menegakkan nilai-nilai konstitusionalisme dengan berperan aktif melakukan advokasi.
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 menilai, sejumlah ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP semakin melemahkan peran penuntut umum. Dalam proses prapenuntutan seringkali timbul kesewenangan penyidik dan berlarutnya penanganan tindak pidana dalam proses penyidikan. Seperti yang dialami Pemohon, Usman Hamid yang menjadi tersangka pencemaran nama baik sejak tahun 2005 hingga kini tidak jelas penanganan perkaranya. Sementara Andro, seorang pengamen di Cipulir yang pernah menjadi korban penyiksaan dalam tahap penyidikan. Namun, Andro mencabut keterangan dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang mengaku pernah membunuh karena di bawah tekanan penyidik. Meski pengadilan tingkat pertama menghukum Andro, di tingkat banding dan kasasi Andro dibebaskan karena pengakuan tersangka terbukti diambil secara tidak sah.
Ketentuan Pasal 109 ayat (1) menyebabkan penyidikan dilakukan tanpa kontrol dan pengawasan penuntut umum karena tidak jelasnya kapan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum. Ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) juga dinilai bersifat multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan seringkali melanggar hak-hak konstitusional.
Menurut Pemohon, Perumusan Pasal 138 ayat (1) dan (2) tidak jelas dan membuka pemaknaan berbeda yaitu dapat dilakukan lebih dari satu kali atau berulang kali tanpa batas waktu sehingga menimbulkan situasi bolak-baliknya berkas antara penyidik dan penuntut umum. Ketentuan Pasal 139 tidak secara jelas memberikan jangka waktu dalam menentukan apakah berkas perkara yang ada tersebut layak atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Selain itu, dalam Pasal 14 KUHAP tidak ada pencantuman yang tegas tentang kewenangan penuntut umum untuk melakukan suatu pemeriksaan tambahan. Hal ini berbeda jika melihat Pasal 30 ayat (1) huruf e yang secara jelas mencantumkan bahwa Kejaksaan mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan tambahan. (Lulu Anjarsari/lul)