Mahkamah Konstitusi (MK) dilahirkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena terjadinya pergeseran supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi Konstitusi. Seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 pasca amandemen. Hal tersebut disampaikan Janedjri M. Gaffar, Staf Khusus Ketua MK saat menerima kunjungan 50 mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati di aula gedung MK, Selasa (29/3).
Pasal 1 ayat 2 berbunyi, \"Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar\". Artinya, jelas Janedjri, kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya MPR sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Sedangkan Pasal 1 ayat 3 berbunyi, \"Negara Indonesia adalah negara hukum\". Artinya, tidak ada lagi supremasi MPR namun supremasi Konstitusi.
“Undang-Undang Dasar harus dilaksanakan, harus menjiwai peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Ketika peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ternyata tidak sesuai dengan norma-norma dasar yang diatur dalam Konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka MK berkewajiban untuk membatalkan undang-undang tersebut,” paparnya.
Ia melanjutkan, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi kewenangan MK. Sedangkan kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). “Memang idealnya, untuk pengujian peraturan perundang-undangan itu satu pintu. Namun, kita tidak bisa meninggalkan sejarah bagaimana amandemen UUD 1945 ketika itu berproses,” imbuh Janedjri.
Pemikiran awalnya, jelas Janedjri, pengujian undang-undang terhadap UUD diserahkan kewenangannya kepada MA, seperti terdapat dalam negara-negara yang menganut commenwealth system. Namun, ketika itu MA merasa keberatan karena tumpukan perkara di sana sudah sangat luar biasa.
“Sehingga kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar akhirnya disepakati diserahkan kepada lembaga yang terpisah dari Mahkamah Agung, yaitu Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Janedjri menegaskan, Mahkamah Konstitusi dihadirkan karena berangkat dari teori negara hukum dan prinsip negara demokrasi. Bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dilaksanakan menurut UUD.
“Tetapi, demokrasi harus dijaga, harus imbangi. Jangan biarkan demokrasi berjalan sendiri. Demokrasi tanpa aturan akan menimbulkan anarkis. Begitu juga hukum, jangan dibiarkan sendiri. Jika hukum dibiarkan berjalan sendiri akan mengakibatkan otoritarianisme,” kata Janedjri.
Dengan demikian, ungkap Janedjri, kehadiran MK adalah dalam rangka mengimbangi demokrasi agar tidak berjalan sendiri. Langkah mengimbangi demokrasi tersebut antara lain dengan menjalankan kewenangan pengujian undang-undang dan memutus perselisihan hasil pemilu termasuk pilkada.
Kunjungan para mahasiswa FH UIN Sunan Gunung Djati tersebut didampingi oleh Tatang Astarudin, dosen pembimbing jurusan Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
“Kunjungan kami jadi pendalaman bagi para mahasiswa Hukum Konstitusi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selain itu kunjungan ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi dan tesis,” tandas Tatang. (Nano Tresna Arfana/lul)