Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 50 mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Wali Songo, Semarang, yang ingin mengetahui lebih baik dan mendalam tentang wewenang dan hukum acara MK, Selasa (19/6). Rombongan diterima oleh Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Panitera MKRI Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Mengawali sambutannya, Prof. Mukthie menjelaskan bahwa konstitusi adalah suatu political legal document. Konstitusi merupakan suatu realitas politik yang direalisasikan dalam bingkai hukum, jelas Guru Besar HTN Universitas Brawijaya, Malang, ini.
Dengan terjadinya perubahan konstitusi sebanyak empat kali dalam satu periode yaitu tahun 1999 2002, urai Mukthie, maka lahirlah salah satu lembaga negara baru yaitu MK yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sementara itu, dalam sesi dialog, salah satu peserta melontarkan pendapat sekaligus pertanyaan bahwa dengan adanya MK, terkesan UUD 1945 menjadi dikultuskan dan anti terhadap kritik. Menanggapi pertanyaan ini, Mukthie Fadjar mengatakan bahwa justru sebelum ada perubahan (amendemen), UUD 1945 telah dikultuskan selama 32 tahun oleh rezim orde baru. Kini, justru terbuka peluang lebih lebar untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 kapan pun dikehendaki oleh kekuatan politik khususnya MPR, jawab Mukthie.
Lanjut Mukthie, MK memang sebagai penafsir tunggal konstitusi. Namun, MK tidak memiliki kewenangan untuk mengubah konstitusi karena kewenangan tersebut ada di tangan MPR. (Wiwik Budi Wasito)