Guna meningkatkan pengetahuan akan fungsi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyambangi Mahkamah Kontitusi (MK) pada Kamis (24/3). Kedatangan para mahasiswa yang didampingi ketua presidium dan sekjen GMNI itu disambut peneliti MK Helmi Kasim di aula lantai dasar gedung MK.
Mengawali paparannya, Helmi mengatakan bahwa sejarah pengujian undang-undang di Indonesia sudah ada sejak masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang.
“Namun Soepomo tidak setuju karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian UU kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003,” paparnya.
Helmi melanjutkan, MK Indonesia memilliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK juga memiliki satu kewajiban, yakni memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD. “Kehadiran MK sebagai koreksi dalam praktik ketatanegaraan kita di masa lalu,” imbuh Helmi.
Dengan demikian, lanjut Helmi, sistem ketatanegaraan Indonesia ini memberikan jaminan kepada setiap warga negara. Setiap warga negara Indonesia, tegasnya, dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Menurut Helmi, undang-undang sebagai produk pembahasan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden memang mempunyai sifat politis. Meski demikian, Undang-Undang sebagai produk hukum materi muatannya tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi. (Utami/lul)