Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/3). Sidang dengan nomor perkara 27/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan oleh Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Fakfak 2015 Donatus Nimbitkendik dan Abdul Rahman.
Diwakili Mochtar Saenong selaku kuasa hukum, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada yang berbunyi, “Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain”.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada tersebut mempersempit dan mengikat hak-hak hukum Pemohon selaku warga negara untuk menempuh hukum dan memperoleh keadilan maupun persamaan hukum bagi warga negara. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Mochtar menjelaskan, Pemohon telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten Fakfak sebagai pasangan calon dalam Pilkada Fakfak 2015 pada 17 September 2015. Namun, surat penetapan KPU tersebut kemudian dibatalkan dengan adanya Keputusan KPU Kabupaten Fakfak No. 4 Tahun 2015 tanggal 26 Oktober 2015 yang menyatakan Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai peserta Pilkada Fakfak 2015. “Alasan pembatalan adalah tidak didukung suara dari partai, Yang Mulia,” ujar Mochtar kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Pemohon kemudian menyatakan keberatan kepada Panwas Kabupaten Fakfak. Panwas kemudian memberikan rekomendasi dan untuk menindaklanjutinya, KPU Fakfak kembali menyatakan bahwa Pemohon adalah sah sebagai calon bupati dan wakil bupati melalui SK KPU Fakfak No. 5 Tahun 2015. Namun, langkah Pemohon menjadi orang nomor 1 di Kabupaten Fakfak kembali terjegal lantaran KPU Provinsi Papua Barat kembali membatalkan SK KPU Fakfak No. 5/2015 tersebut.
Oleh karena itu, Pemohon melakukan berbagai upaya hukum hingga tahap pengajuan peninjauan kembali (PK). Pada tahap pengajuan PK ini, permohonan Pemohon tidak diterima berdasarkan Surat Nomor W4-TUN/14/AT.01.06/1/2016 tertanggal 05 Januari 2016. Dengan alasan ketentuan Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada menyebutkan putusan Mahkamah Agung sudah bersifat final dan mengikat.
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan kuasa hukum Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati bahwa ia melihat dalam Pasal 154 ayat (10) UU Pilkada itu disebutkan tidak dibolehkan mengajukan upaya hukum lain yang tidak dijelaskan lebih detail.
“Makanya saya jelaskan, sehingga kalau berdasarkan pasal ini apakah yang dimaksud dengan upaya hukum lain itu sangat perlu. Karena upaya hukum itu kan ada dua. Ada upaya hukum biasa, ada upaya hukum luar biasa,” ucap Manahan.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna juga menanggapi dalil permohonan Pemohon, terutama terkait pencantuman pasal yang diujikan dan alasan mengapa pasal tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon. “Mengapa pasal yang Saudara ajukan untuk diuji itu dianggap merugikan? Yang kedua, mengapa pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar? Kan itu inti permohonan,” ujar Palguna.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengingatkan terkait format penulisan permohonan. “Tadi sudah ada beberapa nasehat hakim, saya mau tambahkan lagi di dalam perihal permohonannya ini. Jangan lupa menambahkan lembaran negara, dikutip itu. Kemudian penulisannya yang mungkin agak lebih konsisten ini masalah teknis saja mengenai ayat itu huruf besar ada yang huruf kecil,” saran Patrialis. (Nano Tresna Arfana/lul)