Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, pada Rabu (23/3) di ruang sidang pleno MK. Permohonan yang teregistrasi nomor 25/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh 6 orang pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya.
Adapun Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan,
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sedangkan Pasal 3 UU Tipikor menyatakan,
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pada sidang perdana yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, para pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya Heru Widodo, menyampaikan dalil permohonannya. Menurut Pemohon, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sangat merugikan para Pemohon dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan pusat ataupun daerah. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, para Pemohon tidak dapat menghindari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksana proyek pemerintahan yang dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi.
“Tidak ada perseorangan atau korporasi yang bersedia melaksanakan pekerjaan proyek pemerintahan apabila tidak mendatangkan keuntungan baginya, karena mereka adalah para pengusaha yang bekerja untuk mendapat keuntungan,” ujar Heru memaparkan dalil permohonan dihadapan Majelis Hakim.
Selain itu, Heru menyebutkan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, membuat Pemohon selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan. Hal tersebut karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Menurutnya, kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dapat menjadikan tindak kriminalisasi terhadap ASN/PNS karena unsur merugikan keuangan negara.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai hakim anggota meminta agar Pemohon mempertimbangkan kembali permohonannya. Menurut Suhartoyo, tindak pidana korupsi yang akan dijerat penegak hukum adalah tindakan yang benar-benar merugikan keuangan negara ia mengkhawatirkan jika MK mengabulkan permohonan para Pemohon akan berakibat kekosongan hukum dan membahayakan. Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari bagi para pemohon untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan. (Utami/lul)