Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (23/3).
Dalam sidang perkara Nomor 23/PUU-XIV/2016 tersebut, Joko Handoyo yang merupakan aktivis buruh sebagai Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Ketenagakerjaan, serta Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 12, Pasal 2 huruf a, Pasal 56 huruf a, Pasal 86, Pasal 110, dan Pasal 114 UU PPHI yang memuat ketentuan mengenai perselisihan hubungan industrial, khususnya yang berbentuk perselisihan hak.
Menurut Joko, adanya perselisihan hak pekerja dalam pengadilan hubungan industrial justru membuat perusahaan cenderung mempersilakan pekerja untuk memperselisihkan hak yang tidak dipenuhi alih-alih memenuhi hak tersebut. “Seringkali Pemohon menghadapi adanya perselisihan hak, misalnya dengan tidak dibayar THR sebagaimana ketentuan. Namun ketika kita lapor kepada pegawai pengawas, selalu saja diarahkan, ‘silakan diperselisihkan’,” jelas Joko.
Dengan demikian, pada prinsipnya, Pemohon menginginkan perselisihan hak untuk dihilangkan dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun Undang-Undang PPHI. “Kalaupun di situ nanti dianggap merupakan perbuatan melawan hukum, biarlah kembali kepada habitat semula di peradilan umum,” tegas Joko.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai pendahuluan permohonan Pemohon bertele-tele. “Jadi kalau Pemohon menganggap kalimat pembuka itu sangat penting untuk menjadi landasan argumentasi Saudara, diposisikan saja di pokok permohonan sehingga kita mudah melihat. Kemudian mengenai kesimpulan, itu tidak diperlukan ya,” kata Wahiduddin.
Selain itu, terkait legal standing Pemohon, Wahiduddin menilai masih rancu apakah Pemohon akan bertindak sebagai perseorangan warga negara atau sebagai representasi dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. “Coba nanti ditegaskan. Sebab kalau sebagai perseorangan warga negara Indonesia, maka Pemohon harus dapat membuktikan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma yang hendak diuji,” saran Wahiduddin.
Sementara itu Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta Pemohon agar menguraikan kedudukan hukum lebih detail. “Kunjungi saja website-nya Mahkamah Konstitusi tentang bagaimana menguraikan legal standing. Anda kan nanti bisa melihat itu uraian tentang legal standing-nya seperti apa dan itu penting,” ujar Palguna menasehati.
Palguna menjelaskan, banyak permohonan yang seolah-olah menganggap uraian mengenai legal standing itu tidak penting. “Padahal kalau di situ Anda tidak diterima legal standing-nya, permohonan ini tidak akan berlanjut. Karena itu ibaratnya pintu pertama yang harus Anda masuki. Kalau itu tidak terbuka, bagaimana? Mahkamah tidak bisa masuk ke pokok permohonan,” tandas Palguna. (Nano Tresna Arfana/lul)