Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945. Demikian disampaikan Panitera Pengganti MK Ery Satria Pamungkas saat menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Magelang, Rabu (23/3) di aula lantai dasar MK.
“Jadi tidak ada banding maupun kasasi. Ketika Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan sebuah perkara, usaha-usaha hukum apapun yang dilakukan suatu pihak tidak akan mengubah putusannya,” jelas Ery.
Mengenai peran MK, Ery menjelaskan bahwa MK berperan menjaga Konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodasi pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat dihindari lagi penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi Konstitusi.
Ery melanjutkan, sebelum amandemen UUD 1945, kedudukan lembaga-lembaga negara di Indonesia tidak setara dan menyebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen, “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Namun setelah amandemen UUD 1945, ungkap Ery, kedudukan antara lembaga negara di Indonesia adalah sederajat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, imbuh Ery, saat ini Indonesia menerapkan sistem checks and balances terhadap kekuasaan lembaga-lembaga negara.
Sedangkan kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Mahkamah Agung (MA), disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Dijelaskan Ery, kedudukan MK, MA, Presiden, MPR, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini adalah sejajar. “Pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara di Indonesia adalah berdasarkan pembagian fungsi, bukan dari pembagian tingkatan,” ucap Ery yang didampingi Heniyatun selaku dosen hukum perdata Universitas Muhammadiyah Magelang.
Lebih lanjut, Ery menerangkan sejumlah kewenangan dan satu kewajiban MK. Kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus sengketa pemilu, dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan kewajibannya, memutus pendapat DPR bila presiden dan atau wakil presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
“Sebenarnya yang diadili itu bukan Presiden, tetapi pendapat DPR. Maka pendapat DPR itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji, apakah pendapat DPR itu benar atau salah. Jadi Presiden bukan sebagai terdakwa, namun pemohonnya adalah DPR,” tandas Ery. (Nano Tresna Arfana/lul)