Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar serangkaian sidang pengucapan putusan pada Selasa (22/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Salah satu perkara yang diucapkan putusannya, yaitu Perkara Pengujian Undang-Undang Pilkada yang dimohonkan oleh 6 orang mahasiswa hukum Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Tasikmalaya dan satu orang warga masyarakat yang memimpin Lembaga Pendidikan Islam Yayasan Al Inayah.
Mahkamah menilai ketujuh orang Pemohon perkara yang teregistrasi nomor 131/PUU-XIII/2015 tersebut tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan. Oleh karena itu, permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima. “Amar Putusan. Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Ketua MK, Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Sebelumnya, ketujuh Pemohon telah menjelaskan bahwa mereka menggunakan legal standing sebagai pemilih pada pemilihan umum presiden, DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan kepala daerah. Meski demikian, para Pemohon sama sekali tidak memberikan uraian mengenai hak konstitusional apa yang telah dirugikan oleh berlakunya norma pada Pasal 70 ayat (2), Pasal 201 ayat (1), Pasal 201 ayat (2), Pasal 201 ayat (3), dan Pasal 205A UU 8/2015.
Pada sidang pendahuluan maupun sidang perbaikan permohonan, Mahkamah menilai Pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional yang dialaminya. Bahkan, Mahkamah menyatakan Pemohon tidak dapat membuktikan adanya koherensi antara pasal yang digugat dengan argumentasi yang dipakai oleh para Pemohon.
Tidak koherennya permohonan Pemohon salah satunya terlihat pada gugatan terhadap Pasal 70 ayat (2) UU 8/2015 yang mengatur tentang kewajiban cuti bagi kepala daerah. Akan tetapi, Pemohon justru berargumentasi bahwa mereka tidak setuju dengan adanya calon tunggal pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya tahun 2015 lalu.
Tidak membiarkan, Mahkamah sesungguhnya sudah memberikan saran kepada para Pemohon pada sidang pendahuluan yang digelar pada 10 November 2015 lalu. Namun pada sidang perbaikan, Pemohon tidak melakukan perubahan terhadap ketidakjelasan dimaksud. Tidak heran kemudian, Mahkamah menilai bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya dan permohonan a quo dianggap tidak jelas atau kabur. (Yusti Nurul Agustin/lul)