Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Ina Mutmainah, salah satu karyawan bank yang dipecat akibat berselingkuh dengan Hakim Pengadilan Negeri Kalianda Muhammad Hibrian. Pemohon mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar Putusan Nomor 39/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Selasa (22/3).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Aswanto, Mahkamah berpendapat kerugian yang dialami oleh Pemohon bukanlah disebabkan oleh inkonstitusionalnya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut merupakan dampak dari penerapan atau implementasi norma di dalam praktik.
Apabila norma undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut tidak ada, imbuh Aswanto, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, pertama, menjadi tidak jelas siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan internal terhadap para hakim; kedua, siapa yang akan mengeksekusi keputusan Komisi Yudisial (KY) terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh hakim terkait dengan kewenangan KY. Sebab, kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan hakim ada di tangan Mahkamah Agung.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa syarat kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak terpenuhi sehingga Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” ucapnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh Dian Fariska selaku kuasa hukum menjelaskan berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 32A ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 32A ayat (1) UU Mahkamah Agung menyatakan “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Sedangkan Pasal 39 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Pemohon menilai adanya perbedaan putusan antara MA dan KY terhadap Muhammad Hibrian menyebabkan hak konstitusional pemohon terlanggar. Dari hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terhadap Muhammad Hibrian, KY memutuskan pemberhentian tetap dengan hak pensiun. Sementara, Badan Pengawasan MA hanya memutuskan Hakim Muhammad Hibrian menjadi hakim nonpalu selama 2 (dua) tahun pada Pengadilan Banda Aceh. Perbedaan kedua putusan ini dianggap berpotensi melanggar hak konstitusional Pemohon.
Menurutnya, tidak ada satupun pasal dalam Konstitusi yang mengatur secara eksplisit tentang kewenangan Mahkamah Agung yaitu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tetapi MA hanya berwenang untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945), berbeda dengan kewenangan Komisi Yudisial yang secara eksplisit sangat jelas dan gamblang tentang kewenangannya diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.(Lulu Anjarsari/lul)