Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima uji materi Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN yang dimohonkan oleh sejumlah mantan anggota DPRD Kabupaten Sukabumi periode 2004-2009 dan 2009-2014, Selasa (22/3) di ruang sidang pleno MK.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan Perkara Nomor 4/PUU-XIV/2016.
Mahkamah berpandangan permohonan yang diajukan oleh Pemohon bersifat kabur. Selain itu, Pemohon dinilai tidak memiliki legal standing yang kuat. “Permohonan para Pemohon a quo tidak mengikuti ketentuan Pasal 31 ayat (1) huruf b UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005) sehingga uraian perihal kerugian hak konstitusional dimaksud menjadi tidak jelas atau kabur,” urai Wakil Ketua MK Anwar Usman membacakan pertimbangan hukum.
Permohonan a quo menjadi makin tidak jelas ketika para Pemohon dalam petitumnya, antara lain, memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 2 angka 4 dan Penjelasan Pasal 2 angka 6 mengenai frasa “wakil gubernur dan bupati/walikota” UU 28/1999 dan Pasal 122 huruf i, huruf l, dan huruf m UU 5/2014 bertentangan dengan UUD 1945. “Di samping tidak ada kaitan dengan kerugian hak konstitusional para Pemohon, juga tidak ada relevansinya dengan inkonstitusionalitas norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian,” papar Anwar.
Sebelumnya Sejumlah mantan anggota DPRD Kabupaten Sukabumi periode 2004-2009 dan/atau 2009-2014 mengajukan uji materi UU No 28 Tahun 1999 dan UU No 5 Tahun 2014.
Mewakili Pemohon, Kuswara menilai terjadi diskriminasi pada ketentuan Pasal 2 angka 4 dan penjelasannya serta Pasal 2 angka 6 dan penjelasannya UU 28/1999. Ketentuan tersebut hanya mengakui pemerintah daerah gubernur, wakil gubernur, bupati, dan walikota sebagai pejabat negara. “Sementara wakil bupati, wakil walikota, anggota DPRD provinsi, dan Para Pemohon selaku Anggota DPRD Kabupaten Periode 2004-2009 dan/atau 2009-2014 tidak diakui sebagai pejabat negara,” papar Kuswara di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Pemohon, DPRD Kabupaten/Kota juga merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Tidak diakuinya Pemohon sebagai pejabat negara, imbuh Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencerminkan diskriminasi dalam hukum. “Sebagai salah satu contoh nyata adalah gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota mendapatkan tunjangan bulanan ke-13 pada saat menjabat dan setelah masa jabatannya berakhir mendapatkan dana 7 pensiun dari negara,” jelasnya. (Arif Satriantoro/lul)