Patut diapresiasi bahwa 22 Maret telah ditetapkan sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day). Berawal dari United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro 1992 (lazim disebut sebagai ”Earth Summit”), maka Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Sidang Umum ke 47 tanggal 22 Desember 1992 melalui resolusi No.147/1993, menerima usulan agenda 21 dari UNCED.
Pada kesempatan itu, PBB sekaligus menetapkan 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia, dan mulai diperingati sejak 1993 oleh semua negara anggota PBB. Hari Air Sedunia 2016 diperingati dengan tema ”Water And Jobs”. Tema tersebut mengisyaratkan perlunya semua pihak mengonsolidasikan dan memantapkan relasi dan interaksi antara air (water) dan pekerjaan (job), demi kelangsungan kehidupan agar lebih beradab, berbudaya, dan bermartabat.
Air, secara fisik merupakan perpaduan dari unsur hidrogen dan oksigen (H2O). Materi ini, dalam perspektif filsafat disebut eksisten, sesuatu, atau entitas. Menurut Nasr (1976), air sebagai materi itu maujud (nyata) dan dapat diterima manusia sebagai bagian kehidupan, ketika fisik manusia bersatu dan membutuhkan asupan air. Dinyatakan Aristoteles (dalam Apostle, 1981), air dan segala materi duniawi sebagai infinite number of things, mengepung kehidupan manusia.
Satu hal yang perlu disadari bahwa air dan segala materi itu merupakan basis metafisika. Artinya, dibalik air dan materi duniawi lainnya, ada maknamakna metafisik-spiritual. Whitehead (1992) menyatakan bahwa apa yang mendasari semua sifat, predikat, dan atribut, maupun perubahan pada air dan materi duniawi, merupakan substansi. Itulah ultimate reality things dalam kehidupan.
Oleh karenanya perlu menjadi kesadaran bersama bahwa air merupakan sumber kehidupan. Ketika air berada dalam permasalahan, tercederailah kebahagiaan kehidupan dunia maupun akhirat.
Apa dan bagaimana relasi serta interkasi air dengan kerja? Mudah-mudahan bukan kebetulan kalau tema ”Water And Jobs ” berkorelasi dengan nama kabinet kerja pimpinan Presiden Joko Widodo. Hemat saya, nama merupakan doa, harapan, dan semangat untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.
Pada dimensi spiritual, penamaan kabinet kerja merupakan harapan Presiden kepada menteri-menteri agar bekerja, bekerja dan bekerja. Jangan malas. Tiada hari kecuali diisi dengan bekerja sesuai bidang tugas dan jabatannya secara terencana, terkoordinir, dan maksimal, demi terwujudnya visi dan misi pemerintahan, yakni Nawacita. Dalam berbagai kesempatan saya kemukakan bahwa bekerja adalah amanah.
Ada atau tidak perintah atasan, setiap orang memikul amanah untuk bekerja. Amanah itu datang dari Tuhan, sehingga sampai saatnya ketika orang meninggal dan kembali berjumpa dengan Tuhannya, pasti diperlihatkan apapun yang telah dikerjakan. Ikhlas, jujur, istikamah, dan profesional, merupakan kata-kata kunci untuk penilaian atas pekerjaan. Alhasil, seberapa tinggi nilainya, otoritas pada Tuhan.
Menteri-menteri perlu bekerja dengan semangat tinggi, tanpa ribut dan gaduh dengan menteri lain, orientasi demi bangsa dan keridaan ilahi. Ketika menteri dan seluruh komponen bangsa bekerja, seluruh subsistem kenegaraan— ibarat otot-otot organ tubuh— akan berkontraksi dan berelaksasi teratur. Subsistem di atas, yakni presiden dan wakil presiden—ibarat otak dan saraf—memberi komando agar organ dan anggota tubuh bekerja pada tugas dan jabatan masingmasing.
Ketika semua subsistem kenegaraan bekerja maka dapat dipastikan roda pemerintahan berjalan normal, lancar, dan teratur. Itulah proses manajerial dan optimalisasi potensi menterimenteri demi terwujudnya kemaslahatan bangsa. Fazlur Rahman (1975) memberi pencerahan bahwa air, sebagai eksisten sebenarnya merupakan struktur peristiwa (structure of events) partikular.
Ketika kehidupan berlangsung dalam gerakan kontinu, berkelanjutan, tanpa henti. Gerakangerakan itu mendorong terjadinya pengelompokan sistem peristiwa ke dalam esensi. Setiap gerakan, sekecil apa pun dipastikan melibatkan waktu. Waktu itulah ukuran kehidupan. Waktu juga merupakan perluasan alam semesta. Sehingga demi waktu amat rugi bila manusia tidak mampu bekerja (beramal saleh) di alam semesta.
Dalam rangkaian kehidupan dengan alam semesta, keberadaan air berjalin, berkelindan, berpadu dengan manusia. Dengan demikian, air dan kehidupan bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan dalam kontinu (rangkaian) ruang dan waktu. Itulah esensi kehidupan.
Ketika kehidupan mengalami dinamika, keberadaan air perlu didinamisasi sedemikian rupa, selaras dengan kebutuhan. Dinamisasi keberadaan air tersebut mencakup pengaturan, perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pemeliharaannya. Di situlah, semua manusia, dituntut bekerja, bekerja, dan bekerja dalam jalinan keterpaduan (holistik) sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah air yang melimpah ruah.
Sejujurnya, perihal air (water) dan pekerjaan (job), hingga saat ini keduanya masih merupakan masalah serius bagi bangsa. Terkait dengan berlangsungnya privatisasi dan komersialisasi air, rakyat amat terbebani untuk membayar setiap seteguk air demi berlangsungnya kehidupan.
Betapapun Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan bernomor 85/PUU-XI/2013 telah menghapus keberadaan seluruh pasal dalam Undang-undang (UU) No.7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), dan menghidupkan kembali UU No.11/1974 tentang Pengairan. Namun, kepatuhan hukum pemerintah alam membuat UU baru berikut pelaksanaan dan penegakannya, masih setengah hati.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa investor swasta (domestik maupun asing) masih leluasa mendominasi penguasaan dan pengelolaan air, sehingga kebutuhan air sebagian besar rakyat menjadi tergantung ulah perilaku investor. Dalam keterpurukan masalah air, patut dipertanyakan, sudahkah pemerintah bekerja demi rakyat? Wallahualam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-03-22