Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya putusan MK, semua kembali kepada kedewasaan berkonstitusi dari pihak yang bersangkutan. Demikian disampaikan Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Soeroso saat menerima kunjungan para mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang ke MK, Senin (21/3).
Padahal, imbuh Fajar, belakangan beberapa negara sudah menerapkan sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Jerman misalnya, dikembangkan saksi bagi mereka yang tidak melaksanakan putusan MK.
“Sanksi bukan berupa sanksi hukum, tapi sanksi politik. Jadi, misalnya kalau pemerintah tidak mau melaksanakan putusan MK, maka pada pemilu berikutnya harus menerima serangan dari lawan-lawan politiknya,” kata Fajar yang didampingi Ketua Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Untag Semarang Liliana Tedjosaputro.
Fajar menjelaskan salah satu putusan MK yang belum dilaksanakan, yaitu putusan terhadap Undang-Undang Advokat. “Organisasi advokat, baik Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) maupun Kongres Advokat Indonesia (KAI) harus mencari jalan untuk menuju wadah tunggal organisasi. Putusan MK menyatakan bahwa dalam dua tahun harus terbentuk wadah tunggal,” jelas Fajar.
Sesuai dengan perintah Mahkamah dalam putusan UU Advokat tersebut, apabila kedua organisasi organisasi advokat tersebut belum melaksanakan kongres bersama dalam kurun waktu dua tahun, maka perselisihan tentang organisasi advokat diselesaikan di peradilan umum. “Tapi sampai hari ini, belum ada wadah tunggal dari para advokat. Artinya, putusan MK terhadap UU Advokat belum juga dilaksanakan,” imbuh Fajar.
Pada kesempatan itu, Fajar juga memaparkan mengenai sejarah berdirinya MK di Indonesia. Fajar menuturkan sejarah singkat pengujian undang-undang di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Alasan lain, kala itu belum banyak sarjana hukum di Indonesia.
Bertahun-tahun kemudian, terjadi Reformasi 1998 yang salah satu tuntutannya adalah melakukan amandemen UUD 1945. Sebab, UUD 1945 dinilai memiliki banyak kelemahan.
“Berdasarkan kelemahan-kelemahan dalam UUD 1945, selama tiga dasawarsa pada masa orde baru, kita tidak mungkin menjumpai sistem politik yang demokratis,” kata Fajar.
Pada saat amandemen UUD 1945 itulah ide perlu dibentuknya MK di Indonesia terlontar. Hingga kemudian pada 13 Agustus 2003 dibentuklah MK Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, MK menunjukkan kontribusi yang luar biasa kehidupan demokrasi di Indonesia melalui kewenangannya menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, dan memutus sengketa pemilu. Kewenangan dan kewajiban yang belum pernah dijalankan MK adalah memutus pembubaran partai politik dan memutus pendapat DPR bila presiden/wakil presiden diduga melakukan pelanggaran hukum. (Nano Tresna Arfana/lul)