Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/3). Agenda sidang perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 tersebut adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili oleh Muladno selaku Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
Muladno menyampaikan tanggapan Pemerintah soal anggapan Pemohon bahwa ketentuan Pasal 36C ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36D ayat (1) dan Pasal 36E ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dianggap menghidupkan kembali sistem zona yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dalam Putusan MK Nomor 137/PUU-VII/2009.
Menurutnya, Pemohon belum mencermati secara utuh frasa “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona” yang telah dinyatakan bertentangan dalam Putusan Nomor 137/2009 tersebut. “Meskipun terdapat kata ‘zona’ dalam frasa tersebut, kata ‘zona’ itu tidak boleh dimaknai secara tekstual tersendiri. Kata ‘zona’ dimaksud harus dimaknai secara kontekstual sebagai satu kesatuan utuh dengan frasa unit usaha produk hewan. Dengan demikian, tidak benar Undang-Undang a quo didalikan sebagai menghidupkan kembali sistem zona,” jelas Muladno di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan berlakunya sistem zona merugikan hak Pemohon untuk hidup dengan sehat, sejahtera, aman, dan nyaman dari penyakit mulut dan kuku (PMK) yang dibawa karena proses impor dari negara yang tidak bebas penyakit hewan menular, Pemerintah memberikan keterangan bahwa virus PMK tidak dapat secara mudah menular, apalagi membahayakan kehidupan manusia. Sebab, virus tersebut tidak menyebabkan infeksi pada manusia.
“Penularan virus PMK pada ternak hanya menimbulkan tingkat kematian pada ternak muda berkisar 20%. PMK tidak secara langsung mengancam keberlanjutan usaha peternakan. Hal ini dibuktikan di negara yang memiliki zona bebas, bahkan yang belum bebas sekalipun kelangsungan usaha peternakan di negara tersebut tetap baik dan menjadi pengekspor hewan maupun produk hewan. Contohnya, negara Brasil,” papar Muladno.
Dijelaskan Muladno, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan telah mengatur pencegahan masuk dan keluarnya penyakit hewan menular. Misalnya, dalam ketentuan Pasal 36C UU a quo yang menyebutkan bahwa pemasukan ternak ke Indonesia dari negara lain dengan persyaratan kesehatan hewan yang sangat ketat. “Penetapan pemasukan hewan dan atau produk hewan dari zona bebas penyakit hewan menular dilakukan secara ketat melalui mekanisme analisis risiko penyakit hewan oleh otoritas veteriner dengan mengutamakan kepentingan nasional,” ucap Muladno.
Lebih lanjut, Pemerintah menanggapi dalil Pemohon bahwa dengan pemberlakuan sistem zona, maka Indonesia akan dimanfaatkan oleh beberapa negara yang mempunyai zona bebas sebagai pintu keluar bagi daging-daging murah dari zona yang belum bebas PMK.
“Menurut Pemerintah, dalil Pemohon tersebut hanyalah suatu asumsi dan tidak berdasar secara hukum. Sesungguhnya negara telah memberikan jaminan perlindungan terhadap usaha peternakan sapi dalam negeri. Juga karena pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri baru dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak maupun produk hewan dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat,” urai Muladno.
Sebelumnya, Teguh Boediyana selaku Pemohon, mendalilkan pemberlakuan zona based di Indonesia memberikan seluas-luasnya kebebasan impor daging ke Indonesia. Hal tersebut akan mengancam kesehatan ternak dan mendesak usaha peternakan sapi lokal. Apalagi pada 2010 MK pernah memutuskan bahwa dalam importasi dan produk hewan, Indonesia menganut sistem state based bukan zona based.
Selain Teguh Boediyana, ada beberapa Pemohon lainnya, antara lain Mangku Sitepu selaku dokter hewan, termasuk juga dari Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Mereka menganggap, rumusan norma tentang penerapan sistem zona melalui frasa “atau zona dalam suatu negara” yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-VII/2009 justru dihidupkan kembali dalam undang-undang perubahan yaitu UU No. 41 Tahun 2014 yang menjadi objek permohonan a quo.
Pemohon juga menilai UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang baru justru semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah ketergantungan yang tinggi pada impor ternak dan produk ternak. Seharusnya pemerintah berbenah memperbaiki industri peternakan dan peternakan rakyat di dalam negeri. Selain itu, pemberlakuan sistem zona tersebut merugikan hak konstitusional Pemohon untuk hidup sehat, sejahtera, aman, dan nyaman dari bahaya penyakit menular dari hewan ataupun produk hewan yang dibawa karena proses impor dari zona yang tidak aman. (Nano Tresna Arfana/lul)