[JAKARTA] Lembaga Setara Institute mendesak agar sistem peradilan pilkada harus direvisi.
Pasalnya, model peradilan yang dipakai pada pilkada serentak 2015 lalu, belum kondusif bagi terwujudnya pilkada yang berintegritas dan belum mendukung pemenuhan keadilan elektoral.
“Pemerintah dan DPR harus mengubah ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 158 UU Pilkada yang telah menjadi penyebab tidak terpenuhinya keadilan elektoral. Pembentuk UU dapat memperluas syarat selisih maksimal/ambang batas pengujian dan mengadopsi variabel terstruktur, sistematis dan massif (TSM) sebagai penentu substantif dapat tidaknya permohonan perselisihan hasil pilkada diperiksa,” kata Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta, Selasa (15/3).
Ia menjelaskan dari studi yang dilakukan lembaganya dengan melihat hasil Pilkada serentak tahun 2015, ditemukan ambang batas/selisih suara maksimal dapat diterimanya permohonan gugatan sengketa hasil pilkada ke MK tidak menciptakan keadilan pemilihan (electoral justice) dalam desain penyelesaian sengketa hasil pilkada serentak.
Ambang batas/selisih suara maksimal yang dikategorisasi berdasar jumlah penduduk masing-masing wilayah, menutup kemungkinan dapat diterimanya permohonan sengketa hasil Pilkada ke MK.
Kemudian adanya Peraturan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan dan mengimplementasikan pasal 158 dalam PMK-nya, memperjelas bahwa rumusan pasal UU Pilkada harus mengandung kepastian hukum.
Pasal 158, telah memberi kesempatan pada MK untuk menafsirkan berdasarkan pertimbangan hukumnya berbeda dari paradigma “selisih suara” yang dimaksudkan oleh pembentuk UU.
“Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa Pilkada 2015 telah berpedoman pada hukum acara secara rigid/kaku. Mengabaikan aspek-aspek keadilan substantif, termasuk dengan tidak menjadikan fakta pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) sebagai variabel dalam memeriksa perkara,” jelasnya.
Menurutnya, penyelesaian sengketa Pilkada yang tersegmentasi ke banyak lembaga, telah menyebabkan ketidakpastian hukum. Apalagi tidak ada batas waktu yang jelas dalam penanganan berbagai laporan kecurangan pilkada ataupun sengketa administrasi ke PT-TUN.
Berbagai laporan pelanggaran pada akhirnya, terbelah dan diadili berdasar kewenangan lembaga. Sehingga, tidak ada pendalaman laporan untuk mencari kebenaran materil secara menyeluruh / komprehensif.
Karena itu, dari pembelajaran praktik peradilan pilkada serentak tahap I 2015 lalu, desain peradilan pilkada yang tersegmentasi telah menjauhkan akses keadilan elektoral dan tidak kompatibel dengan demokrasi di Indonesia.
Ketidakterpaduan praktik peradilan pilkada untuk berbagai jenis perkara hukum seperti pidana, administrasi, etika, dan sengketa hasil telah menjadikan praktik peradilan pilkada sebagai rutinitas demokrasi yang tidak berguna.
Impunitas pelanggaran pidana pilkada yang semestinya menjadi variabel keadilan elektoral gagal berkontribusi memperkuat kualitas pilkada.
“Ke depan, desain peradilan pilkada terpadu dalam satu wadah di Mahkamah Agung perlu segera dirancang untuk memastikan integritas pilkada yang berkeadilan,” tuturnya. [R-14/L-8]
Sumber: http://sp.beritasatu.com/home/ubah-sistem-peradilan-kasus-pilkada/111123