Jakarta-
Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki persamaan yaitu sama-sama mengadili permohonan judicial review. Tetapi dalam kenyatannya, publik lebih menyukai MK dibandingkan MA.
Yang membedakan MK dan MA adalah MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945, sedangkan MA menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Berdasarkan Laporan Tahunan MA, MA mengadili 72 permohonan judicial review sepanjang 2015. Dari jumlah tersebut, hanya 7 yang dikabulkan MA.
"Meskipun sama-sama melaksanakan pengujian norma peraturan perundang-undangan (judicial review) namun terdapat kesenjangan terkait antusiasme publik dalam memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya yang dianggap dilanggar oleh berlakunya suatu peraturan perundang-undangan di MK dan MA," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Selasa (15/3/2016).
Kurun 2015, MK mengadili 220 perkara judicial review, 140 perkara di antaranya adalah perkara baru. Apabila dihitung mundur sejak tahun 2012 tren pengujian UU ke MK cenderung naik yaitu pada 2012 sebanyak 118 perkara, pada 2013 sebanyak 109 perkara, pada 2014 sebanyak 140 perkara. Hal ini berbeda dengan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU di MA yang untuk tahun 2015 sebanyak 72 perkara.
"Untuk pengujian UU di MK, publik sangat antusias," ujar Bayu.
Munculnya kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan, mengingat jenis dan jumlah peraturan perundang-undangan di bawah UU justru lebih banyak dibandingkan jumlah UU yaitu mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga (seperti KPU, BI, dll) dan Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Apakah dengan sedikitnya pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU dapat diartikan peraturan perundang-undangan di bawah UU dianggap lebih berkualitas daripada UU sehingga warga negara tidak mengujinya ke MA, ataukah ada faktor-faktor lainnya yang menyebabkan kondisi ini terjadi.
"Sebenarnya kesadaran warga negara untuk memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar oleh berlakunya peraturan perundang-undangan ke pengadilan melalui mekanisme judicial review sangat dipengaruhi oleh kemudahan akses dan keterbukaan pengadilan dalam mengadili perkara tersebut," papar Bayu.
Bayu melihat saat ini terjadi perbedaan yang sangat tajam dalam pengujian di MK dan di MA yaitu di MK persidangan bersifat terbuka. Di MK, pemohon didengar keterangannya secara langsung termasuk menghadirkan saksi dan ahli sehingga bisa secara maksimal melakukan upaya pembuktian bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh suatu ketentuan dalam UU yang diuji.
Selain keterangan pemohon, dalam persidangan di MK juga didengarkan keterangan DPR dan presiden serta pihak lain yang kepentingannya terkait dengan UU yang diuji.
"Persidangan di MK ini telah menerapkan apa yang disebut sebagai prinsip audi et alteram partem yaitu keterangan para pihak didengarkan semua dalam persidangan," terang Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Berbeda dengan MK, pengujian peraturan perundang-undangan di MA bersifat tertutup. Pengujian dilakukan hanya terhadap berkas permohonan yang diajukan oleh pemohon dan berkas jawaban dari pihak termohon.
"Perbedaan persidangan antara yang terbuka dan tertutup ini tentu membawa pengaruh dalam putusan yang dihasilkan mengingat putusan hakim sangat tergantung dari seberapa kuat dan menyakinkan upaya pembuktian dalam persidangan oleh para pihak," kata Bayu.
Maka dari itu, sudah selayaknya dilakukan perubahan dalam hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di MA yaitu dengan mengubah Peraturan MA (Perma) tentang Hak Uji Materiil agar persidangan dapat dilaksanakan secara terbuka dan menjamin para pihak dapat secara maksimal memperjuangkan haknya.
"Hal itu dalam rangka mengefektifkan lembaga pengadilan sebagai sarana perlindungan hak-hak warga negara atas praktik-praktik kesewenang-wenangan penguasa negara melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak berkualitas dan melanggar hak warga negara," cetus Bayu.
Hal senada juga dinyatakan oleh Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma. Sebagaimana diketahui, pemerintah menyatakan banyak peraturan daerah dan peraturan di bawah UU yang bermasalah. Seharusnya peraturan itu di-judicial review ke MA, tetapi hal ini jarang dilakukan sebab proses di MA tidak transparan.
"Banyak peraturan yang bermasalah dan kita tidak dapat memantau apa yang dibahas di MA saat judicial review itu," ujar Alvon.
Saat ini hukum acara judicial review di MA sedang digugat ke MK. Pemohon meminta MA membuka akses masyarakat untuk mengikuti persidangan judicial review di MA layaknya di MK.
(asp/nrl)
Sumber: https://news.detik.com/berita/3165035/soal-proses-judicial-review-mk-lebih-disukai-masyarakat-dibandingkan-ma