Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU Penagihan Pajak). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 19/PUU-XIV/2016 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, Selasa (15/3) di ruang sidang MK.
Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Yunan Hilmy hadir mewakili Pemerintah. Yunan menyatakan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak yang diuji oleh Pemohon mengatur salah satu syarat banding ke pengadilan pajak, yakni kewajiban untuk membayar pajak terutang yang disengketakan sebesar 50%.
“Kapan saat timbulnya kewajiban atau jatuh tempo bagi wajib pajak untuk membayar kewajiban perpajakannya. Hal itu telah diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Isinya menyebutkan bahwa sejumlah pajak terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak kurang bayar yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu sebulan sejak tanggal diterbitkan,” papar Yunan.
Dengan demikian, kata Yunan, pada saat wajib pajak mengajukan keberatan banding ke pengadilan pajak, maka pada saat itu utang pajaknya telah jatuh tempo. Sehingga wajar apabila kemudian dipersyaratkan untuk membayar pajak terutangnya sebesar 50%. “Oleh karena itu, menurut Pemerintah adanya persyaratan jaminan sebesar 50% dari pajak terutang bukan merupakan persoalan konstitusionalitas, melainkan merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk Undang-Undang,” imbuh Yunan.
Oleh karena itu, Pemerintah menegaskan bahwa tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Penagihan Pajak.
Selanjutnya, Pemerintah menanggapi berlakunya Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung, Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya menyatakan permohonan Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali.
“Pengaturan Peninjauan Kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak tidak terlepas dari landasan filosofis dibentuknya pengadilan pajak yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak secara adil, yang prosedur dan prosesnya dilakukan secara cepat dan sederhana dengan biaya murah,” jelas Yunan.
Menurut Pemerintah, apabila dibuka peluang pengajuan peninjauan kembali untuk sengketa pajak dapat dilakukan lebih dari satu kali, baik bagi wajib pajak maupun bagi Direktorat Jenderal Pajak, maka menjadi tidak sejalan dengan filosofi penyelesaian sengketa pajak yang cepat dan sederhana.
“Pengaturan peninjauan kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali tersebut tidak terlepas dari asas kepastian hukum, dimana kepastian merupakan tujuan utama dari sengketa pajak,” tandas Yunan.
Pada sidang pendahuluan, Frederick Rachmat selaku Pemohon mendalilkan klausul pengekangan sementara waktu dalam penyanderaan sebagaimana diatur dalam UU Penagihan Pajak ternyata memiliki persamaan dengan tindakan penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 20 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana. Perbedaannya, terletak pada mekanisme check and balance system.
“Klausul tersebut berbeda dengan Pasal 1 angka 20 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana yang telah memiliki check and balance system atas tindakan penangkapan oleh aparat pemerintah yakni melalui mekanisme pranata praperadilan. Sedangkan Pasal 34 ayat (3) UU Penagihan Pajak tidak memiliki check and balance system atas tindakan penyanderaan oleh aparat pemerintah, jelas Pemohon.
Selain itu, menurut Pemohon, materi dalam Pasal 34 ayat (3) UU Penagihan Pajak dengan jelas mengatur terhadap pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan dapat diajukan gugatan. Dengan demikian, cukup jelas bahwa maksud dan tujuan gugatan yang diatur dalam pasal aquo hanya sebatas terhadap teknis dan pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan tersebut, bukan menyangkut substansi perkara pokok, yaitu masalah kewajiban pembayaran pajak yang harus dilaksanakan oleh Pemohon. Padahal persoalan hutang pajak dan cara bagi aparat pemerintah dalam menagih pajak guna pencapaian penerimaan negara masih perlu dicarikan cara yang lebih kondusif. (Nano Tresna Arfana/lul)