Ketua Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) PS. Kuncoro hadir sebagai Pihak Terkait dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Selasa (15/3) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti diketahui, Pemohon perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 tersebut menguji Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan.
“Keberadaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan seperti melahirkan kembali pemaknaan usaha penyedia tenaga listrik dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang telah dinyatakan inkonstitusional,” kata Kuncoro kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Kuncoro menjelaskan, terjadinya praktik pemisahan kekuasaan sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 16 UU No. 2/2002 yang memerintahkan sistem pemisahan usaha ketenagalistrikan (unbranding system) dengan pelaku usaha berbeda, akan semakin membuat terpuruk BUMN yang bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat.
Dikatakan Kuncoro, secara umum, Kuncoro sebagai Pihak Terkait I mewakili serikat pekerja atau serikat buruh pada anak perusahaan PT PLN (Persero) yang sama-sama memiliki fungsi sebagai perusahaan penyediaan listrik untuk kepentingan umum. Sedangkan Pihak Terkait II adalah serikat pekerja yang berkepentingan terhadap setidaknya dua hal, yakni kepastian pasokan listrik dengan harga industri terjangkau yang disediakan PT PLN Persero dan tarif listrik murah terhadap Pihak Terkait II sebagai warga negara pada umumnya.
“Pihak Terkait I yang merupakan organisasi serikat pekerja yang terdapat di PT Indonesia Power dengan nama PPIP, dapat dikategorikan sebagai perorangan dan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, yang haknya akan terpengaruh jika Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan Perkara Pengujian No. 111/PUU-XIII/2015,” papar Kuncoro.
Upaya permohonan aquo, imbuhnya, sesungguhnya dapat dianggap sebagai upaya menjaga kelangsungan hidup perusahaan dan organisasi PPIP. “Dengan keberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 diyakini tidak hanya akan meniadakan peran PLN sebagai BUMN penyedia dan pelayan energi listrik guna kepentingan umum. Namun, berdampak juga pada keberadaan anak perusahaan yang selama ini berdiri dengan konsep terintegrasi langsung dengan PT PLN dalam menjalankan usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum,” urai Kuncoro.
Pada dasarnya, menurut Pihak Terkait, kenaikan tarif dasar listrik juga akan memengaruhi anggota-anggota PPIP yang akan mengalami kehilangan pekerjaan dari tempat kerjanya. Selain itu, berlakunya UU Ketenagalistrikan dinilai dapat membuat Pihak Terkait II terancam kesejahteraannya manakala listrik kepentingan umum industri dikuasai oleh swasta atau tidak terintegrasi. “Maka tarif listrik akan menjadi komoditi bisnis yang dapat membuat pengeluaran produksi perusahaan tinggi, sehingga mengorbankan kesejahteraan buruh,” tegas Kuncoro.
Dalam sidang perdana, Adri dan Eko Sumantri selaku Pemohon menggugat ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan. Ketentuan tersebut digugat karena dianggap membatasi negara dalam kepemilikan perusahaan listrik dan listrik juga dapat dikuasai oleh pihak swasta.
Sejalan dengan ketentuan UU No. 30 Tahun 2009, Pemohon menjelaskan bahwa Direksi PLN melakukan proses unbundling vertikal sesuai region masing-masing dan selanjutnya menuju unbundling horizontal per operasi bisnis. PLN menyerahkan operasi distribusi dan transmisi PLN kepada Haleyora Power, dan menyerahkan pekerjaan administrasi (back office) kepada PT Icon.
Pemohon menduga, hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya tarif tenaga listrik secara drastis dan perubahan status perusahaan. Dampak dari regionalisasi ini, baik unbundling vertika maupun unbundling horizontal adalah keberadaan SDM PLN dapat diintervensi oleh pemilik modal (pembeli PLN sesuai regionnya) dan PHK massal. Oleh karena itu, Pemohon menyampaikan pada Majelis Hakim Konstitusi, bahwa ketentuan UU Ketenagalistrikan telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik. (Nano Tresna Arfana/lul)