Sebanyak 30 Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Syiah Kuala, Aceh dan Universitas Sriwijaya, Palembang mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (15/3). Kedatangan para mahasiswa tersebut diterima langsung oleh Panitera Pengganti MK Hani Adhani di aula gedung MK.
Dalam kesempatan itu, Hani menyampaikan materi berjudul “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan”. Hani menjelaskan latar belakang dibentuknya MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003. “MKRI merupakan hasil amandemen UUD 1945,” kata Hani.
Hani memaparkan tentang asal mula berdirinya MKRI. Di Indonesia sendiri, gagasan pengujian undang-undang sebetulnya sudah tercetus sejak masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun, Soepomo tidak menyetujuinya karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian undang-undang kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.
Setelah terbentuk, MKRI memilliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasarkan amanat UUD 1945. Kewenangan MKRI adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MKRI, memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.
Dijelaskan Hani, amandemen UUD 1945 adalah salah satu tuntutan Reformasi Politik 1998. Seperti diketahui, ada beberapa tuntutan reformasi selain perubahan UUD 1945, di antaranya, menghapuskan dwifungsi ABRI, penegakan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan pers.
Lebih lanjut, Hani menjelaskan terjadinya amandemen UUD 1945 dilatar belakangi beberapa hal, mulai dari banyaknya pasal yang sangat multitafsir, terlalu luwes, sehingga perlu disempurnakan. Hasil amandemen UUD 1945, antara lain tidak mengubah pembukaan UUD 1945 serta tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maupun sistem presidensial di Indonesia. “Setelah diamandemen, UUD 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 aturan peralihan, 2 aturan tambahan dan tanpa penjelasan,” ungkap Hani kepada para mahasiswa.
Usai mendengarkan paparan dan penjelasan dari panitera pengganti MK. Para mahasiswa melanjutkan kunjungannya ke Pusat Sejarah Konstitusi di lantai 5 dan 6 Gedung Mahkamah Konstitusi. (panji erawan/lul)