Setelah jeda tiga bulan, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dimohonkan oleh Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI), Senin (14/3). Dalam persidangan perkara No. 117/PUU-XIII/2015 tersebut, dua orang ahli dihadirkan oleh pihak Pemerintah untuk menampik dalil Pemohon yang menyatakan penanaman modal asing (PMA) di bidang usaha peternakan telah menimbulkan praktik monopoli.
Kedua ahli dimaksud yaitu Trioso Purnawarman dan Arief Daryanto, keduanya merupakan pakar di bidang peternakan dan unggas sekaligus pengajar di IPB. Trioso yang juga menjabat sebagai anggota Komisi Bibit Ayam Ras dan Pakar Bibit Ayam Ras, menyampaikan keterangannya terlebih dulu di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK, Anwar Usman. Terkait gugatan Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) terhadap UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, Trioso menegaskan bahwa UU a quo disusun dengan filosofi untuk melindungi kepentingan dan kesejahteraan peternak.
Bila filosofi tersebut dikaitkan dengan kata “integrasi” dalam Pasal 2 ayat (1) UU a quo, Trioso menegaskan bahwa yang dimaksud dengan integrasi dalam pasal tersebut bertujuan untuk meningkatkan keuntungan dari sisi input maupun output budidaya peternakan unggas. Artinya, budidaya unggas dapat mengambil keuntungan dari budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan bidang lainnya yang dijalankan secara terpadu.
“Baik dari sisi input berupa bahan baku pakan untuk ternak dan ikan maupun output berupa limbah atau kotoran ternak yang dapat digunakan kembali untuk keseburan pertanian dan perkebunan. Hal ini akan memberikan nilai tambah yang menguntungkan baik bagi peternak maupun petani, seperti integrasi budidaya ayam ras pedaging sistem longyam. Selain itu, juga memberikan rasa aman bagi masyarakat terhadap ketersediaan, kecukupan pangan asal hewan,” jelas Trioso.
Perluasan (integrasi) usaha peternakan juga dianggap bermanfaat untuk menyelesaikan persoalan ketersediaan unggas dan harga jual, khususnya ayam ras pedaging seperti yang diungkap Trioso. Pasalnya, sebagian besar persoalan ketersediaan unggas dipengaruhi oleh supply bibit ayam ras, adanya penyakit unggas menular, dan panjangnya rantai pemasaran, serta distribusi pascapanen.
Bila usaha peternakan unggas terintegrasi, maka persoalan ketersediaan unggas tersebut dapat dipecahkan, salah satunya dengan sistem perkandangan tertutup (modern biosecurity) yang meminimalisasikan penularan penyakit kepada unggas. Selain itu Trioso juga menyontohkan bahwa peningkatan produksi jagung sangat berpengaruh terhadap ketersediaan unggas. Sebab, jagung merupakan salah satu pakan utama ternak unggas.
Sementara itu, terkait dengan prinsip kemitraan dalam usaha peternakan unggas, Trioso menjelaskan bahwa prinsip kemitraan dimaksud harus didasari adanya perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat, menguntungkan, dan berkeadilan. Pemerintah juga turut andil dalam kemitraan usaha untuk melakukan pembinaan kemitraan secara sehat, meningkatkan sinergi antarpelaku usaha, dan mencegah terjadinya eksploitasi yang merugikan peternak dan masyarakat, serta memperoleh nilai tambah dari kegiatan industri pengelolaan hasil peternakan secara berkeadilan.
Sementara itu, Arief Daryanto memberikan keterangan dari sudut pandang ekonomi industri peternakan. Menurutnya, sektor usaha peternakan mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, baik dalam pembentukan produk domestic bruto, penyerapan tenaga kerja, maupun dalam penyediaan bahan baku industri. Hal itu lantaran daging unggas masih menjadi sumber protein “favorit” masyarakat Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Daryanto juga menegaskan ketidaksepahamannya terhadap dalil Pemohon yang menyatakan integrasi usaha peternakan menyebabkan praktik monopoli oleh korporasi dan kartel oleh para pengusaha besar. Daryono mencoba meluruskan bahwa integrasi yang dimaksud dalam usaha peternakan dan bidang lainnya merupakan sebuah sistem terpadu yang menggabungkan peternakan konvensional tanaman pangan, holtikultur, perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang lain yang terkait.
“Usaha peternakan yang pada prinsipnya berbasis lahan, sedangkan penggunaan lahan semakin bersaing untuk berbagai keperluan. Maka ke depan pengembangannya diarahkan pada sistem pertanian terintegrasi atau terpadu antara ternak dan tanaman. Keterpaduan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapat masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan berkelanjutan,” urai Daryanto di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Sistem terpadu dimaksud sebenarnya sudah diterapkan sejak lama di Indonesia. Menurut paparan Daryanto, pada tahun 1970-an telah diperkenalkan sistem usaha tani terpadu yang didasarkan pada hasil-hasil pengkajian dan penelitian dengan berbagai istilah. Pada intinya, sistem terpadu mampu memberikan keuntungan berlipat bagi petani dan peternak karena mampu mengurangi biaya produksi sekaligus meningkatkan penghasilan tambahan dari tanaman atau hasil ikutannya. Kelebihan lainnya yaitu mampu mempertahankan kesehatan dan fungsi ekosistem.
Usai menyimak keterangan para ahli yang dihadirkan Pemerintah, Pemohon melalui kuasa hukumnya sempat meminta Mahkamah untuk menghadirkan Komisi Persaingan Usaha. Menanggapi permintaan Pemohon, Anwar Usman yang didampingi tujuh orang Hakim Konstitusi lainnya menyampaikan persetujuannya sesaat sebelum menutup sidang.
“Jadi, untuk sidang selanjutnya ditunda hari Kamis, tanggal 31 Maret 2016 jam 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan Komisi Persaingan Usaha sesuai dengan permintaan tadi ya,” tutup Anwar. (Yusti Nurul Agustin/lul)