Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Senin (14/3), di Ruang Sidang MK. Agenda sidang perkara Nomor 135/PUU-XIII/2015 tersebut adalah mendengarkan keterangan dari Pemerintah.
Dalam sidang yang dipimpin wakil ketua MK Anwar Usman, Pemerintah menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada bersifat diskriminatif bagi warga negara yang mengidap psikososial atau disabilitas gangguan mental karena menghilangkan hak pilihnya dalam pilkada. Menurut Pemerintah, apabila Pemerintah memaksakan untuk memberikan hak pilih yang sama terhadap warga negara yang mengidap ganggung psikologis dan gangguan mental kejiwaan yang tidak dapat dipastikan kapan waktu kambuh dan normalnya, hal itu justru tidak memberikan kepastian hukum dalam menentukan hak pilih.
“Sehingga dipastikan berpotensi menjadi permasalahan baru manakala warga negara yang mengidap gangguan psikologis dan gangguan mental dipaksa untuk melaksanakan hak memilihnya maupun adanya penyalahgunaan surat suara manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan hak pilihnya,” ujar Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Suhajar Diantoro, pada sidang yang diajukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Khorunnisa Nur Agustyati.
Pemerintah menilai bahwa objek-objek permohonan a quo bukan hal yang diskriminatif. Namun lebih merupakan persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah guna mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Mengakhiri pemaparannya, Suhajar menegaskan bahwa ketentuan a quo telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ketentuan tersebut dinilai Pemerintah dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Usai mendengarkan keterangan dari Pemerintah, Wakil ketua Anwar Usman menyatakan bahwa siding akan kembali digelar pada Kamis (31/3), dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR, serta Ahli dan Saksi dari Pemohon.
Sebelumnya, Para Pemohon mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada yang menyatakan, “(3) Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau.” Menurut para Pemohon, Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada telah merugikan hak konstitusional warga negara dan bersifat diskriminatif. Selain itu, juga menghilangkan hak memilih bagi para penderita gangguan kejiwaan karena tidak dapat didaftar sebagai pemilih dalam Pilkada.
“Ada salah pengertian di masyarakat, bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa adalah satu kondisi yang permanen, yang tidak bias diperbaiki, dimana secara konstan terus menerus berada dalam kondisi yang tidak bias memutuskan. Padahal orang dengan gangguan jiwa itu apabila mendapatkan pengobatan dan dukungan social yang tepat, maka dia bias hidup sama seperti orang-orang lainnya,” jelas salah satu Pemohon, Jenny Rosanna Damayanti selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan bahwa gangguan psikososial atau disabilitas gangguan mental bukanlah jenis penyakit yang muncul terus menerus dan setiap saat. Bagi mereka yang mengidap psikososial, dapat terjadi gejala gangguan mental pada dirinya muncul, dan dapat juga gejala tersebut hilang sehingga yang bersangkutan dapat menjadi normal kembali. Tidak ada yag dapat memastikan kapan seorang pengidap psikososial kambuh gejalanya, dan kapan pula gejala psikososial yang ada pada diri yang bersangkutan hilang.
“Warga Negara yang mengidap gangguan kejiwaan tidak berlangsung terus menerus dan setiap saat. Gangguan kejiwaan kadang dapat hilang dan menjadi normal kembali. Nah, keadaan ini member kesempatan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam Pilkada,” terang kuasa hukum Pemohon, Fadli yang kemudian juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (panji erawan/lul)