Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan Peserta Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat II Angkatan XLII Kelas C Tahun 2016 yang diselenggarakan Lembaga Administrasi Negara (LAN), Kamis (10/3). Bertempat di Aula Lantai Dasar Gedung MK, Wiryanto yang menjabat sebagai Kepala Bidang Penelitian Pengkajian Perkara dan Perpustakaan menerima kunjungan tersebut. Pada kesempatan tersebut, Wiryanto juga menyampaikan materi seputar MK dan kewenangannya.
Di hadapan sekitar 20 peserta Diklatpim, Wiryanto menyampaikan bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Pria yang akrab disapa Pak Wir itu juga menjelaskan meski MK dan Mahkamah Agung (MA) merupakan sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman, namun memiliki kewenangan yang berbeda. Salah satu kewenangan yang dimiliki MK yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang putusannya bersifat final dan mengikat. Artinya, setelah proses persidangan selesai dan diputus oleh MK maka tidak dapat dilakukan upaya banding.
Selain itu, Wiryanto menjelaskan bahwa MK lahir usai amandemen UUD 1945 yang ketiga. MK lahir sebagai salah satu kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA). Kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut memiliki kedudukan yang sejajar. “MK Indonesia lahir di abad 21 dan MK Indonesia itulah yang pertama lahir di abad 21. MK Indonesia merupakan MK yang ke-78 dalam urutan kelahiran MK di seluruh dunia,” ujar Wiryanto.
Wiryanto pun menjelaskan mengenai alasan perlunya dilakukan perubahan dalam UUD 1945 yang pada muaranya melahirkan MK. Saat itu, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal hierarki lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Dengan sistem ketatanegaraan yang demikian, proses check and balances antar lembaga negara tidak tercapai. Selain itu, UUD 1945 juga memiliki pasal-pasal yang multitafsir.
“Pada saat pembahasan amandemen saat itu, muncul juga ide mengenai perlunya MK dengan kewenangan judicial review. Sebelum amandemen, pemerintah dan DPR saat menerbitkan undang-undang sudah tidak bisa dilakukan upaya pengujian. Itulah yang menjadi isu utama terkait lahirnya MK dari hasil amandemen UUD 1945. Saat itu, Pemerintah diberi waktu oleh undang-undang untuk membentuk MK paling lambat 17 Agustus 2003. Sebelumnya, tanggal 3 Agustus 2003, Presiden mengesahkan UU MK. Setelah itu pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengangkat sembilan Hakim Konstitusi yang dilanjutkan pengucapan sumpah Hakim Konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003,” jelas Wiryanto lagi.
Wiryanto juga menyebutkan kewenangan yang dimiliki MK berdasar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan yang dimiliki MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU). Selain itu, MK juga memiliki satu kewajiban seperti yang diamanatkan Pasal 7 dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yaitu wajib memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Kewenangan MK tersebut dijelaskan oleh Wiryanto harus dijalankan oleh Hakim Konstitusi yang jumlahnya sembilan orang. Wiryanto pun menyampaikan komposisi Hakim Konstitusi yang berasal dari unsur DPR, MA, dan Presiden.
Pada kesempatan itu, sejumlah peserta sempat melemparkan berbagai pertanyaan kritis seputar pengawasan. Menurut para peserta, Hakim Konstitusi bekerja tanpa diawasi oleh siapa pun. Menjawab pertanyaan tersebut, Wiryanto menyampaikan bahwa Hakim Konstitusi memiliki keistimewaan terkait kemandirian dalam membuat putusan. Pada dasarnya dalam melakukan kewenangan konstitusionalnya, Hakim Konstitusi tidak bisa diawasi.
Meski demikian, Wiryanto menjelaskan bahwa tidak sepenuhnya Hakim Konstitusi dibiarkan tanpa pengawasan dalam menjalankan tugasnya. Menurut Wiryanto, tiap-tiap Hakim Konstitusi tetap diawasi perilaku maupun etikanya.
“Dari sisi etika bisa dilihat cerminan apakah Hakim tersebut sudah melakukan kewenangannya dilakukan dengan baik. MK sendiri memiliki dewan etik yang sifatnya permanen, bekerja day to day untuk mengawasi dan menerima pengaduan dari masyarakat terkait etika Hakim Konstitusi,” ungkap Wiryanto. (Yusti Nurul Agustin/lul)