Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (UU Panas Bumi) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Selasa (8/3) di ruang sidang MK. Permohonan perkara Nomor 11/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
Diwakili Humawan Estu Bagijo selaku kuasa hukum, Pemohon menyampaikan telah memperbaiki sistematika penulisan dan menambah DPRD Jawa Timur sebagai Pemohon. “Kami telah membuat tabel perbaikan, penulisan ayat sudah dikonsistenkan dengan penggunaan kurung sesuai saran Majelis. Selain itu kami mengikutsertakan DPRD sebagai pihak Pemohon dan sudah mendapat surat kuasa seluruh pimpinan DPRD menandatangani permohonan tersebut. Selanjutnya, kami menguraikan secara spesifik pasal-pasal yang diuji dan kerugian konstitusional Pemohon,” kata Himawan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Usai mendengarkan perbaikan permohonan, Majelis Hakim pun mengesahkan bukti yang diajukan Pemohon. “Ya, baik, terima kasih. Selanjutnya pengesahan alat bukti. Dari Perkara No. 11, bukti yang diajukan P-1 sampai dengan P-10 ya? Benar? Baik, sudah diverifikasi dan dinyatakan sah,” kata Anwar.
Seperti diketahui, Gubernur Jawa Timur Soekarwo merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2) UU Panas Bumi yang menyatakan kewenangan pemanfaatan tidak langsung panas bumi yang meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, kawasan hutan konservasi, dan wilayah laut berada di pemerintah pusat. Selain itu, Pemohon juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Lampiran CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan yang memuat pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota, yang menyatakan bahwa kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota hanya sebatas menerbitkan izin pemanfaatan langsung panas bumi.
Semenjak berlakunya ketentuan a quo, pengelolaan panas bumi hanya diberikan kepada pemerintah pusat. Hal tersebut, menurut Pemohon, bertentangan dengan prinsip otonomi yang diberikan pada daerah. Pemohon menjelaskan dalam pembagian kewenangan pemanfaatan panas bumi seharusnya diberlakukan prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas. Oleh karena itu, satuan pemerintahan yang lebih dekat dengan luas, besaran, dan dampak dari pemanfaatan tidak langsung panas bumi seharusnya yang berhak mengelola. (Nano Tresna Arfana/lul)