Merasa keberatan usahanya berjualan bahan baku material bangunan secara eceran dikenai kewajiban pajak, Edi Pramono menggugat Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Selasa (8/3), Pemohon diwakili kuasa hukumnya menyampaikan perbaikan permohonan perkara No. 13/PUU-XIV/2016 itu di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Syawaluddin selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemohon. Perbaikan substansial dilakukan pemohon pada penggunaan batu uji. Setelah diperbaiki, Pemohon menggunakan empat pasal dalam UUD 1945 sebagai batu uji terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (4a) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Keempat batu uji dimaksud, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. “Jadi kalau yang sebelumnya hanya Pasal 28D dan 28I, kemudian Pasal 1 ayat (3), maka untuk yang perubahan perbaikan permohonan ini, itu batu uji menjadi 4, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1),” terang Syawaludin.
Pasal-pasal dalam UU Tata Cara Perpajakan yang digugat oleh Pemohon pada intinya mengamanatkan bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap dikenai kewajiban pajak berlaku surut. Artinya, sebelum terdaftar sebagai PKP sekalipun, pajak dari hasil usaha yang sudah berlalu tetap harus dibayarkan. Hal inilah yang dianggap Pemohon telah merugikan hak-hak konstitusionalnya, salah satunya hak untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Latar Belakang
Pada sidang pendahuluan, Syawaludin mengatakan Pemohon selaku pengusaha kecil yang mengecer semen, kapur, pasir, dan batu telah menerima surat imbauan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kudus pada 2010 lalu.
Meski sudah menerima surat imbauan tersebut, Pemohon mengaku belum mendaftarkan diri sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dan hanya memperbaiki SPT Tahunan saja. Setelah mendapatkan himbauan untuk segera mendaftar, Pemohon pun akhirnya mendaftarkan diri sebagai PKP.
Selama belum dikukuhkan sebagai PKP, Syawaludin menyampaikan bahwa Pemohon tidak memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang-barang dagangannya. Namun, ketika Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kudus mengukuhkan Pemohon sebagai PKP, Pemohon dibebani kewajiban perpajakan berlaku surut sebagai PKP. Artinya, periode sebelum Pemohon mendaftarkan diri sebagai PKP tetap dikenakan kewajiban perpajakan.
“Bahwa DJP telah mengeluarkan surat ketetapan pajak kurang bayar pajak pertambahan nilai barang dan jasa masa pajak (bukti P-10A sampai bukti P-10L) pada tanggal 21 Januari 2013 yang pada pokoknya memutuskan Pemohon dibebankan dengan kewajiban perpajakan setiap bulannya untuk masa bulan Januari sampai Desember 2009 (sebelum Pemohon ditetapkan sebagai PKP, red) dengan jumlah per bulan dasar pengenaan pajaknya 623 juta rupiah dan kewajiban lain yang harus dibayar Pemohon,” ujar Syawaludin yang mengungkapkan bahwa dalam setahun PPN oleh Pemohon total sebanyak lebih dari 1 miliar rupiah.
Tentu saja Pemohon merasa keberatan dengan hal tersebut. Untuk itu, Pemohon mengajukan surat keberatan kepada DJP yang pada pokoknya menyatakan pengenaan PPN berlaku surut tidak dapat dibenarkan. Namun, DJP pada akhirnya menolak seluruh keberatan yang Pemohon ajukan tersebut dengan menyatakan tidak ada ketentuan yang pasti kapan dimulainya wajib perpajakan bagi pengusaha kena pajak yang berdasarkan kemauannya sendiri mendaftarkan sebagai PKP. Upaya hukum lainnya juga telah ditempuh Pemohon dengan melakukan banding ke Pengadilan Pajak, meski pada akhirnya Pengadilan Pajak menyatakan menolak banding.
Dengan adanya kewajiban perpajakan yang berlaku surut tersebut, Pemohon merasa sangat dirugikan. Selain nominalnya yang sangat besar, sebelum dikukuhkan sebagai PKP Pemohon juga sama sekali tidak membebankan PPN atas barang-barang dagangannya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta keadilan dengan diberlakukannya aturan kewajiban perpajakan hanya dimulai saat Wajib Pajak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak berlaku secara surut. (Yusti Nurul Agustin/lul)