Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU Penagihan Pajak) dengan nomor perkara 19/PUU-XIV/2016 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (8/3) di ruang sidang MK dengan agenda perbaikan permohonan. Hadir dalam persidangan, Dhanan Jaya Wotulo selaku kuasa hukum Pemohon.
Namun, dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut, Pemohon menyatakan belum dapat menyampaikan perbaikannya. “Sebelumnya, kami menyampaikan permohonan maaf kami karena sampai pada hari ini perbaikan permohonan yang kami buat, belum selesai. Jadi kesimpulannya, kami belum siap dengan perbaikan permohonan, Majelis,” ujar Dhanan.
Menanggapinya, Suhartoyo menyatakan apabila Pemohon tidak menyampaikan perbaikan permohonannya pada sidang kedua, maka MK akan memeriksa permohonan yang pertama diajukan. “Perbaikan itu kan sebenarnya hanya yang fundamental saja. Tidak semua harus disampaikan. Kalau ada tambahan, tinggal menambahkan dari ide-ide para lawyer itu. Waktu dua minggu mestinya lebih dari cukup. Tapi, memang Mahkamah seperti itu. Kalau pada hari terakhir perbaikan yang dijadwalkan tidak menyerahkan perbaikan, yurisprudensi kita menganggap bahwa Pemohon hanya mengajukan permohonan sesuai dengan permohonan yang pertama diajukan. Jadi, kami nanti akan periksa berdasarkan permohonan Anda yang kemarin itu,” urai Suhartoyo.
Menanggapi pernyataan tersebut, Dhanan meminta Majelis Hakim untuk memberikan waktu tambahan. Namun, Suhartoyo menyatakan permintaan tersebut tidak bisa dipenuhi oleh MK. “Itu yang tidak bisa kami penuhi Karena nanti kami akan memperlakukan tidak adil kepada yang lain. Karena yang lain kami perlakukan seperti ini. Artinya, kalau tidak menyerahkan pada hari terakhir kesempatan yang diberikan, kami menganggap bahwa permohonan yang pertama itu saja yang digunakan,” tegasnya.
Suhartoyo menyatakan akan menyampaikan pokok permohonan Pemohon kepada forum rapat permusyawaratan hakim (RPH). “Nanti bagaimana keputusannya, apakah permohonan Anda itu bisa tanpa sidang selanjutnya dengan pleno? Ataukah harus dengan pleno? Sepenuhnya menjadi keputusan rapat permusyawaratan hakim yang akan ditentukan kemudian. Apa pun perkembangannya, Bapak nanti akan diberitahukan untuk panggilan atau semacam itu pada waktu yang akan datang,” jelas Suhartoyo.
Pada sidang perdana, Frederick Rachmat selaku Pemohon mendalilkan klausul pengekangan sementara waktu dalam penyanderaan sebagaimana diatur dalam UU Penagihan Pajak memiliki persamaan dengan tindakan penangkapan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 20 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dikatakan Pemohon, Pasal 1 angka 20 KUHAP telah memiliki check and balance system atas tindakan penangkapan oleh aparat pemerintah yakni melalui mekanisme pranata praperadilan. Sedangkan Pasal 34 ayat (3) UU Penagihan Pajak tidak memiliki check and balance system atas tindakan penyanderaan oleh aparat pemerintah.
Selain itu, menurut Pemohon, Pasal 34 ayat (3) UU Penagihan Pajak dengan jelas mengatur pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan dapat diajukan gugatan. Dengan demikian, cukup jelas bahwa maksud dan tujuan gugatan yang diatur dalam pasal aquo hanya sebatas terhadap teknis dan pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan tersebut, bukan menyangkut substansi perkara pokok yaitu masalah kewajiban pembayaran pajak yang harus dilaksanakan oleh Pemohon. Padahal, menurut Pemohon, persoalan hutang pajak dan cara aparat pemerintah dalam menagih pajak guna pencapaian penerimaan negara masih perlu dicarikan cara yang lebih kondusif. (Nano Tresna Arfana/lul)