Sidang uji materiil Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Mantan Ketua DPR Setya Novanto tersebut digelar pada Rabu (8/3) di ruang sidang MK.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Pemohon yang diwakili Muhammad Ainul Syamsu telah memperbaiki permohonan terutama terkait kedudukan hukum dan alasan permohonan. Terkait kedudukan hukum, lanjut Ainul, pemohon mengubahnya menjadi perseorangan warga negara yang dirugikan dengan penetapan dirinya sebagai terperiksa dalam kasus dengan PT Freeport.
“Kemudian secara potensial ada kerugian karena jikalau pemeriksaan itu berlanjut maka sangat potensial Pemohon itu akan terus diikutsertakan dalam pemeriksaan, yaitu karena pemeriksaan itu bermula dari pertemuan dan pembicaraan yang menurut pemeriksa pertemuan dan pembicaraan itu dihadiri oleh Pemohon dan dua orang lainnya,” paparnya.
Lebih lanjut, Pemohon yang sebelumnya meminta adanya penambahan frasa “kualitas dan kapasitas” dalam Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor, menghapus kata “kapasitas” dalam perbaikan permohonannya.
“Kami menghilangkan ‘kapasitas’, jadi hanya menggunakan kata ‘kualitas’ karena memang kata ‘kapasitas’ kadangkala dalam hukum pidana digunakan untuk menjelaskan tentang kemampuan bertanggung jawab supaya tidak terjadi bias, kemudian sumir, atau hal-hal yang tidak jelas. Kami hanya menggunakan ‘kualitas’ untuk menggambarkan delik kualitatif,” terangnya.
Pada sidang perdana, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pemohon menilai bahwa pengertian tentang “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa UU, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru.
Pengertian pemufakatan jahat dalam pasal 88 KUHP, menurut Pemohon, hanya sesuai untuk diterapkan terhadap tindak pidana umum sebab jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang saat ini secara nyata dialami Pemohon.
Sebagai contoh penerapan Pasal 88 KUHP terhadap tindak pidana umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu adalah Pasal 110 ayat (1) KUHP. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107 dan 108 UU KUHP diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.
Terkait dengan status hukum Pemohon sebagai terperiksa kasus dugaan tipikor, sejumlah pemberitaan di media memuat pemberitaan yang menyatakan bahwa Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus memandang pemohon terlibat dalam permufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT. Freeport Indonesia. Sementara, menurut pemohon, hal tersebut mustahil dilakukan karena dirinya tidak pada posisi yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Dalam kasus pemohon, Pasal 88 KUHP diterapkan terhadap delik-delik kualitatif seperti Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan penyalahgunaan wewenang sebagai unsur delik. Padahal dalam Pasal 3, pembuat deliknya haruslah pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu. (Lulu Anjarsari/lul)