Mantan Ketua DPR Setya Novanto yang menguji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memperbaiki permohonan. Sidang kedua perkara dengan Nomor 20/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (8/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Pengujian kedua UU itu terkait perekaman pembicaraan Pemohon dengan petinggi PT Freeport yang menyeretnya menjadi terperiksa.
Dalam sidang tersebut, Setya Novanto diwakili oleh Syamsudin Hamid selaku kuasa hukum, menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai saran majelis hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon telah memperbaiki kedudukan hukumnya sebagai warga negara, yang menjabat sebagai Anggota DPR.
“Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23-26/PUU-VIII/2010, maka dapat disimpulkan bahwa sepanjang permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh warga negara Indonesia yang juga Anggota DPR RI bukan mendalilkan kerugian hak konstitusional dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka dia memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang,” ujar Syamsudin di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penyelidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Pemohon menilai, keberadaan norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU 11/2008 tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman.
Tidak adanya pengaturan yang dapat menciptakan situasi seperti yang dialami Pemohon dapat saja dianggap telah melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, menerima pemberian atau janji, hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh setiap orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu, dalam hal ini hasil rekaman yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin.
Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti berupa rekaman pembicaraan yang beredar. Rekaman tersebut diduga merupakan suara antara Pemohon dengan Ma’roef Sjamsudin dan Muhammad Riza Khalid yang dilakukan disalah satu ruangan hotel yang terletak di kawasan Pacific Place Jakarta Pusat. Berdasarkan hal tersebut, menurut Pemohon, timbul dugaan terjadinya tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjang kontrak PT. Freeport Indonesia. Pembicaraan tersebut diakui Ma’roef Sjamsudin direkam tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak lain yang ada didalam rekaman tersebut dan dilaporkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Pemohon menilai tindakan perekaman tanpa kepentingan penegakan hukum oleh bukan aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk itu serta penggunaanya sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/lul)