Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 88 ayat 4 UU No 13 Tahun 2015 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Senin (7/3). Dalam sidang perkara Nomor 8/PUU-XIV/2016 tersebut, sebanyak 123 orang pekerja yang tergabung dalam Aliansi Buruh Tanpa Nama, sebagai Pemohon, memperbaiki permohonannya.
Diwakili Kuasa Hukum Iskandar Zulkarnaen, Pemohon memperbaiki surat kuasanya dengan melampirkan surat kuasa. “Mengenai penyesuaian jumlah pemberi kuasa dalam permohonan yang telah diperbaiki adalah sebanyak 123 orang, terdiri dari lima bendel surat kuasa diberikan oleh Abdahel Mukhti dan kawan-kawan 20 orang, Muhammad Hafidz dan kawan-kawan 7 orang, Masna dan kawan-kawan 11 orang, Marsanto dan kawan-kawan 75 orang, dan Isa Trisnawati dan kawan-kawan 10 orang,” jelasnya.
Selain itu, Pemohon juga memberikan tambahan mengenai penetapan besaran upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (4), yang diperintahkan oleh Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan. Pemohon pun menguraikan Pendapat Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 11/PUU-XII/2014. “Kami juga telah menguraikan pendapat Mahkamah, dalam Putusan Nomor 11 Tahun 2014, termuat dalam halaman 34 angka 16, yang pada pokoknya belum menyentuh pada tafsir,” kata dia melanjutkan.
Terakhir, untuk memperjelas adanya keterkaitan antara norma dalam Pasal 88 ayat (4) dengan norma Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan, serta agar ketika permohonan dikabulkan tidak melahirkan tafsir upah dengan standar ganda, maka para Pemohon telah mengubah petitum-nya menjadi:
“Meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan, “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana yang dimaksud ayat (3) huruf a, berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana yang dimaksud ayat (3) huruf a, berdasarkan akumulasi dari nilai kebutuhan hidup layak, nilai produktivitas, dan nilai pertumbuhan ekonomi”.
Menanggapi perbaikan permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku Ketua Panel menganggap permohonan yang diajukan sifatnya sama dengan bentuk pasal aslinya. “Ini permohonannya sebenarnya sudah terwujud dalam pasal yang sekarang. Malah jadinya terkesan akumulasi dengan pasal yang lama,” jelasnya.
Menjawabnya, Iskandar menyatakan hal itu adalah bentuk penegasan saja. “Agar perhitungan upah menguntungkan kaum buruh,” tandasnya.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon sebagai buruh merasa berhak mendapat imbalan dan penghidupan yang layak. Hal tersebut dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga berpendapat penetapan kebijakan pengupahan harus didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang sesuai produktivitas pertumbuhan ekonomi.
“Namun sayangnya, akhir-akhir ini pemerintah menganggap tak ada rumusan baku dalam upah minimum. Malah justru memberlakukan PP No 78 Tahun 2015 sebagai acuan,” jelasnya dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo di ruang sidang MK.
Dia menjelaskan PP tersebut muncul sebagai tafsiran dari Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Ketentuan tersebut dinilai Pemohon masih memiliki ruang kosong yang memungkinkan munculnya penafsiran berbeda oleh pemerintah, serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Sehingga akhirnya pemerintah perlu mengatur lebih detail pada aturan yang lebih detail yakni PP.
“Apalagi dalam pasal tersebut tak ada kewajiban menggunakan nilai KHL sebagai komponen upah minimum. Maka dari itu, kami meminta MK pasal tersebut dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya. (Arif Satriantoro/lul)