Ketika nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam konstitusi dipraktikkan dan kemudian muncul permasalahan, maka hal ini perlu dimaklumi karena ketika dituliskan belum terbayang apa yang nanti akan terjadi. Evaluasi menjadi solusi.
Pemikiran ini disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam acara Temu Wicara MK dalam Sistem Ketatanegaraan RI untuk Pimpinan dan Anggota Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), Kamis (7/6), di Jakarta.
Banyak pasal di UUD 1945 yang bisa dievaluasi, salah satunya, contoh Jimly, adalah soal pengadilan militer. Apa perlunya pengadilan militer masuk dalam UUD 1945? Urai Jimly, hal ini bermula pada tahun 1970. Ketika orde baru sedang kokoh, dibuatlah UU No. 14 Tahun 1970 yang mencantumkan ketentuan empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer.
Tahun 1970, lanjut Jimly, peradilan militer populer karena pasca awal orde baru Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili semua pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sebelumnya, termasuk juga mengadili orang-orang sipil. Jadi, pengadilan militer itu, aslinya pengadilan disiplin internal organisasi tentara. Tapi dalam keadaan luar biasa, dalam keadaan darurat, dia menggantikan fungsi pengadilan sipil, kata Jimly.
Kini, menurut Jimly, keadaan tak lagi darurat, jadi harus kembali ke sistem peradilan biasa. Tapi oleh UUD 1945 perubahan ketiga, justru peradilan militer diresmikan masuk ke Pasal 24 ayat (2). Sesuatu yang tadinya kondisional untuk keadaan darurat, dimasukkan dalam struktur konstitusi. Padahal tentara ketika melakukan tindak pidana umum didorong supaya diadili di pengadilan umum. Dan mekanisme itu, tutur Jimly, sudah benar karena kehidupan bernegara berjalan dalam keadaan normal. Akibatnya, pengadilan militer kehilangan pekerjaan. Berdasarkan kondisi ini, kalau begitu, untuk apa peradilan militer diresmikan dalam konstitusi sebagai lingkungan peradilan yang berdiri sendiri? Nah itu misalnya hal-hal yang bisa untuk dievaluasi, ulas Jimly.
Konstitusi, sambung Jimly, terbuka untuk diadakan evaluasi dan disempurnakan dari waktu ke waktu melalui mekanisme politik. Tentu untuk mengubah dan menyempurnakan konstitusi, papar Jimly, di samping bisa dikembangkan lewat amendemen atau perubahan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, bisa juga dilakukan melalui konvensi-konvensi ketatanegaraan. Selain itu, cara ketiga adalah dengan melakukan judicial interpretation (penafsiran konstitusi). Maka, peranan MK dalam menafsirkan konstitusi melalui perkara-perkara konstitusi bisa membantu menyempurnakan kekurangan-kekurangan UUD 1945, jelasnya.
Jadi, himbau Jimly, jangan terlalu risau dengan kekurangan-kekurangan dalam UUD 1945. Apalagi, hingga kini tak ada konstitusi di seluruh dunia yang sempurna karena itu semua hanyalah produk politik. Dan sekali lagi, evaluasi dari waktu ke waktu adalah solusinya. (Wiwik Budi Wasito)