Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencabut permohonan uji materi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perkara yang teregistrasi No. 1/PUU-XIV/2016 tersebut dicabut pada sidang perbaikan permohonan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/3).
“Majelis Hakim telah menyampaikan masukan kepada kami bahwa permohonan Pemohon banyak mengandung dimensi harmonisasi undang-undang, antara Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kemudian menurut Majelis Hakim, pasal dari Undang-Undang Ketenagakerjaan ini telah banyak diuji sehingga sudah compang-camping,” papar John Pieter Nazar selaku kuasa Pemohon menjelaskan alasan pencabutan perkara.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Pemohon menganggap lebih baik menyampaikan aspirasinya terkait dengan undang-undang a quo melalui proses legislasi di DPR. “Sehingga pada hari ini kami terpaksa harus mencabut permohonan kami karena lebih memilih proses legislasi daripada mengajukan permohonan yang telah kami sampaikan,” imbuh John.
Menanggapi penarikan permohonan tersebut, Majelis Hakim menghormati keputusan Pemohon. “Memang ini pilihan ya. Tapi itu ditempuh juga sebetulnya sangat baik, sejauh yang saya ketahui dalam pembahasan undang-undang maupun perubahan itu memang ada kesempatan kepada para user untuk memberikan masukan. Masukan itu bisa melalui badan legislasi, melalui pansus kalau itu dibikin pansus atau juga melalui unsur fraksi-fraksi,” ujar Patrialis Akbar.
Majelis menyarankan, sebaiknya Apindo lebih intensif lagi untuk bisa melakukan pendekatan ke DPR. “Jadi yang efektif itu ya. Menurut saya, untuk langkah awal, ke fraksi-fraksi. Dan fraksi-fraksi itu biasanya sudah menyediakan waktu khusus untuk menerima aspirasi masyarakat,” tandas Patrialis.
Pada sidang perdana, Apindo selaku Pemohon, mengujikan Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pembayaran uang pensiun dan uang pesangon. Menurut Pemohon, pasal tersebut membebankan kewajiban secara kumulatif kepada pengusaha dalam bentuk pembayaran pensiun sekaligus uang pesangon saat pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena memasuki usia pensiun.
Selain itu, pengusaha juga dibebani membayar uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Padahal secara yuridis, menurut Pemohon, konsep pengaturan pembayaran pensiun dan pemberian pesangon sangat berbeda. Pemohon menegaskan, Pasal 167 ayat (1) menyebutkan bahwa apabila pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja karena memasuki usia pensiun dan pengusaha tersebut telah mengikutsertakan pekerja pada program pensiun, maka ia tidak mendapatkan uang pesangon.
Namun, pekerja tersebut tetap berhak atas uang penggantian hak. Hal tersebut dinilai Pemohon berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum karena terdapat perbedaan konsep. Pemohon menilai adanya kemungkinan seorang pekerja memasuki pensiun tapi dilakukan PHK. Kemungkinan yang lain adalah kalau terjadi PHK karena seorang pekerja telah memasuki usia pensiun, baginya masih tetap berlaku Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
Dengan adanya frasa “tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4)” UU a quo, Pemohon menilai tindakan pengusaha melakukan PHK ketika pekerja sudah memasuki usia pensiun akan memberikan hak kepada pekerja untuk menuntut haknya berdasarkan Pasal 156 ayat (4). Hal yang demikian akan berpotensi memunculkan beragam tuntutan yang memberatkan pengusaha. (Nano Tresna Arfana/lul)