Sifat putusan pengadilan tinggi pada perkara pemilu yang final dan mengikat didalilkan telah menjegal langkah mantan calon legislatif (caleg) untuk mencari keadilan sampai ke tingkat Peninjauan Kembali (PK). Hal tersebut dinyatakan dalam permohonan perkara Pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) yang diajukan mantan caleg DPRD Provinsi Banten, Muhammad Nizar. Pada Senin (7/3), Nizar melalui kuasa hukumnya menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan yang teregistrasi dengan nomor No. 9/PUU-XIV/2016 tersebut.
Munathsir Mustaman selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat. Dalam kesempatan itu, Munathsir menegaskan kembali bahwa yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah tidak dapat dilakukannya upaya PK bagi tindak pidana pemilu.
“Memang di permohonan kalau sebelumnya kami ada campur aduk tentang kasasi dengan PK, di permohonan yang baru (perbaikan permohonan, red) kami merujuk kepada peninjauan kembali (PK), Yang Mulia,” tegas Munathsir.
Selain itu, perbaikan lainnya yang dilakukan Pemohon adalah perbaikan redaksional dan sistematika penulisan permohonan. Misalnya, Pemohon kali ini telah menuliskan secara lengkap bunyi Pasal 263 ayat (5) UU Pileg dalam permohonannya. Sebelumnya, Pemohon tidak menuliskan secara lengkap redaksional pasal a quo.
Meski demikian, Munathsir mengatakan Pemohon tidak melakukan perbaikan dalam petitum permohonannya. “Petitumnya tidak ada perubahan, Yang Mulia,” jawab Munathsir ketika ditanya mengenai hal itu oleh Arief yang didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul.
Sebelumnya pada Selasa (23/2), Mahkamah telah menggelar sidang pendahuluan untuk perkara ini. Saat itu Munathsir menyampaikan latar belakang dan argumentasi gugatan terhadap Pasal 263 ayat (5) UU Pileg yang diajukan kliennya.
Saat itu Munathsir menjelaskan bahwa pada saat Pileg 2014 lalu, Pemohon telah dilaporkan oleh lawan politiknya terkait adanya dugaan money politic. Kasus yang menjeratnya tersebut telah melewati pemeriksaan di Panwaslu Tangerang serta dilimpahkan ke Sentra Gakkumdu Polres Tangerang dan Kejaksaan Negeri Tangerang. Saat ini, perkara tersebut telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Banten yang dalam putusannya menyatakan Pemohon terbukti bersalah.
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 263 ayat (5) UU 8/2012, Pemohon merasa haknya untuk mendapatkan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan terlanggar. Sebab, pasal a quo mengatur bahwa putusan pengadilan tinggi pada perkara pemilu adalah bersifat final dan mengikat. Artinya, Pemohon tidak dapat melakukan upaya hukum ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk dipahami, Pasal 263 ayat (5) UU 8/2012 secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 263
(5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain
Pada permohonan awal, Pemohon mengatakan meski telah memiliki bukti baru (novum), Pemohon tidak dapat mengajukan upaya kasasi akibat adanya ketentuan Pasal 263 ayat (5) UU Pileg. Namun setelah mendengarkan saran hakim pada sidang pendahuluan, Pemohon memperbaiki bahwa upaya hukum yang tidak bisa ditempuh akibat ketentuan a quo yaitu upaya PK, bukan kasasi.
Salah satu hakim yang memberikan saran terkait hal tersebut, yakni Hakim Konstitusi Manahan. Saat itu, Manahan menegaskan bahwa terdapat perbedaan konteks antara kasasi dan PK. Bila melihat argumentasi Pemohon mengenai novum, Manahan mempertanyakan hubungan antara novum dan kasasi.
“Ini kalau menurut penglihatan saya, ini jangan ditafsirkan bahwa tidak mungkin ada upaya lain. Yang Saudara juga kemukakan di sini kan hanya mengenai soal kasasi, padahal Saudara bicara novum. Ini konteksnya bisa berbeda itu. Coba nanti dilihat lagi dulu. Konteksnya berbeda. Saudara mengatakan novum, kalau novum apakah ada hubungannya dengan kasasi apa tidak? Itu coba dicermati,” saran Manahan saat itu. (Yusti Nurul Agustin/lul)