Hingga kini, negara Indonesia masih banyak mengalami permasalahan pelik yang berkecamuk. Sedangkan, pilihan-pilihan ide luhur kebijakan negara yang dirumuskan oleh para decisions maker baru selesai ditulis di atas kertas.
Permasalahan di atas mencuat dalam sambutan yang disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam acara Temu Wicara MK dalam Sistem Ketatanegaraan RI untuk Pimpinan dan Anggota Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), Kamis (7/6), di Jakarta.
Mengapa baru selesai ditulis di atas kertas? Urai Jimly, hal ini bermula dari munculnya krisis menjelang reformasi. Untuk menghadapi berbagai tantangan krisis tersebut, baik karena tuntutan yang muncul dari daerah ataupun karena ancaman dan tantangan dari luar sebagai akibat dari globalisasi, maka jawabannya adalah reformasi.
Ketika memasuki era reformasi, lanjut Jimly, maka dihimpunlah berbagai ide-ide luhur menjadi kebijakan publik dan kenegaraan melalui proses-proses demokratis yang kemudian ditetapkan di dalam UUD 1945 dengan empat kali perubahan, berbagai peraturan perundang-undangan, dan peraturan pelaksanaannya. Tetapi, selama sepuluh tahun ini, semua kebijakan-kebijakan itu sudah selesai di atas kertas. Selesai yang dimaksud pun belum seratus persen, karena masih ada norma-norma yang bersifat pelaksanaan dan elaboratif yang masih harus ditata, ungkap Jimly.
Tak hanya di situ. Ketika mengevaluasi berbagai sistem norma warisan masa lalu sebelum reformasi berdasarkan sistem norma baru yang sudah diadopsi dalam konstitusi, ternyata masih banyak norma satu sama lain saling bertabrakan dan semuanya masih memerlukan langkah-langkah penataan. Belum selesai melakukan penataan sistem norma hukum, kini dituntut pula untuk mengembangkan sistem norma etika.
Dulu, lanjut Jimly, sistem norma etika hanya cukup dikotbahkan oleh para pemuka agama atau diajarkan melalui generasi ke generasi. Tapi kini, seluruh dunia membicarakan infrastruktur ethics in public office. Jadi, bila dulu etika sifatnya abstrak dan sukarela, kini dikehendaki ada infrastrukturnya secara lebih konkrit, ujat Jimly.
Bahkan pada Tahun 1996, papar Jimly, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu sidang umumnya memberi rekomendasi agar semua negara-negara anggota PBB mengembangkan infrastruktur etik. Walhasil, yang harus kita kembangkan sekarang ini, sistem hukum sekaligus sistem etika. Dan keduanya diakui menjadi persoalan besar dalam rangka menata negara modern, kata Jimly.
Mengapa demikian? Jawab Jimly, masyarakat modern makin menyadari bahwa sistem hukum sekarang tak lagi cukup menjadi andalan dan acuan untuk membangun negara yang baik. Diperlukan juga sistem etika untuk mengontrol perilaku ideal manusia. Hukum sudah terlalu berat menerima beban. Terlalu banyak kekacauan-kekacauan manusia modern yang tidak bisa hanya diatasi dan diselesaikan melalui hukum. Jadi, papar Jimly, kalau ada penyimpangan perilaku manusia, maka harus disediakan sistem koreksi melalui sistem etika supaya pelanggaran tersebut tidak berkembang menjadi pelanggaran hukum.
Oleh karena itu, usul Jimly, sistem hukum dan sistem etika harus ditata secara simultan dan saling menunjang. Sistem etika tak hanya dikotbahkan, tapi bisa diwujudkan. Jadi, bila norma etika bilang tidak boleh, meski oleh norma hukum belum diatur, maka jangan dilakukan. Apa yang dilarang oleh sistem hukum, sudah tentulah etika melarangnya. Nah begitulah cara berpikirnya, tegas Jimly. (Wiwik Budi Wasito)