Banyak kalangan menilai, keberadaan Pasal 158 UU Pilkada mengancam demokrasi lokal, sebab menafikan pelanggaran.
JAKARTA – Pasal 158 Undang- Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dianggap sebagai pasal yang menyumbat demokrasi. Sebab pasal yang mengatur syarat formal pengajuan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, menutup peluang diungkapnya berbagai kecurangan dalam kontestasi politik lokal.
Pasal 158 sendiri, mengatur selisih suara dari 0,5 persen hingga 2 persen sebagai syarat formil mengajukan gugatan sengketa hasil pemilihan. Menurut Koordinator Forum Peduli Konstitusi (FPK), Andi Syafrani, Pasal 158 menjadi belenggu para pembuat keadilan, terutama di Mahkamah Konstitusi. Akibat ketentuan Pasal 158, sebanyak 142 pemohon yang mencari keadilan di mahkamah kemarin, diabaikan aspirasinya.
“Baru kali ini di Indonesia orang mencari keadilan dalam konteks perjuangan menjaga integritas Pilkada yang dibatasi angka-angka, dibatasi legal standing, yakni Pasal 158,” kata Andi, di Jakarta, Minggu (6/3). Andi pun berharap kedepan Mahkamah Konstitusi bersedia membuka kran pencari keadilan seluas mungkin. Jangan sampai, hanya karena syarat formal, keadilan tak bisa ditegakan. Dan jangan sampai pula, kejahatan dalam Pilkada tak bisa dibongkar, hanya karena syarat yang tak adil tersebut.
“Atas masalah tersebut, di tahun 2016, MK bisa mengubur cita-cita dan proses demokrasi yang selama ini sudah dijaga dengan baik jika MK keukeuh mengacu Pasal 158 untuk menyelesaikan sengketa pilkada,” tuturnya. Andi pun mengajak semua elemen masyarakat menjadikan isu ini menjadi isu nasional. Presiden harus didesak untuk turun tangan, karena sekarang revisi UU Pilkada inisiasinya ada di tangan pemerintah. Pemerintah, mesti didesak menghapus Pasal 158 tersebut.
“Saya yakin masih ada waktu untuk memengaruhi publik. Hapus Pasal 158 yang sangat tidak adil tersebut,” kata Andi. Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Pilkada Watch, Wahyu A. Permana keberadaan Pasal 158 UU Pilkada mengancam demokrasi lokal. Kata Wahyu, pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember lalu menyisakan begitu banyak pelanggaran yang dilakukan secara terang-terangan. Mereka melakukan pelanggaran tanpa ada mekanisme hukum yang mampu menghukumnya. Banyak pelanggaran terjadi seperti netralitas aparat sipil negara, politik uang, dan penggunaan dana APBD (Bansos).
“Jika Pasal 158 dipertahankan, maka berbuatlah kecurangan semaksimal mungkin, karena tidak ada mekanisme hukum yang mampu menindaknya,” kata Wahyu. Wahyu menambahkan, Pilkada serentak kemarin, merupakan pesta demokrasi dengan hukum rimba. Karena siapa calon yang kuat dimana mereka memiliki akses dengan kekuasaan, punya akses dengan pemodal, mereka bisa melakukan kecurangan dalam pemilihan.
Di sisi lain, fakta tingkat partisipasi pemilih pun begitu rendah. “Apa jadinya kalau Pilkada yang akan datang tingkat partisipasi pemilih makin rendah,” ujarnya. Dalam pesta pemilihan serentak kemarin, kata dia, banyak pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif tersebut. Sayang, pelanggaran itu tak tersentuh, karena bunyi Pasal 158 yang dijadikan acuan oleh Mahkamah Konstitusi.
Jadi Tameng
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, tak setuju dengan pasal itu. Menurutnya, pasal tersebut rentan dijadikan tameng hukum bagi para calon untuk melakukan kecurangan sehingga tidak bisa disengketakan di MK.
“Pasal 158 itu pasal eksis ya. Walaupun saya sendiri tidak setuju secara substansial dan secara konstitusional. Karena pasal itu sama saja dengan benteng bagi para calon, tapi kita tidak bisa hindari bahwa ada praktik yang salah,” ujar Margarito. Kalaupun harus menggunakan pasal itu untuk mengambil keputusan, Margarito mengingatkan MK agar melakukan pemastian fakta bahwa tidak ada kecurangan dalam proses pilkada tersebut. ags/AR-3
Sumber: http://www.koran-jakarta.com/hapus-pasal-penghambat-gugatan/