DPR dan pemerintah segera merevisi UU 8/2015 tentang Perubahan atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU (UU Pilkada). Langkah itu dimaksudkan untuk mencari formula terbaik, baik menyangkut persyaratan maupun aspek teknis, penyelenggaraan pilkada yang mulai tahun lalu telah digelar secara serentak.
Salah satu isu penting yang diusung adalah menyangkut persyaratan calon kepala daerah yang masih berstatus sebagai penyelenggara negara, baik di pemerintahan, legislatif, yudikatif, serta TNI dan Polri. Ketentuan saat ini, dengan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi, para calon kepala daerah yang masih menjadi penyelenggara negara wajib mengundurkan diri dari jabatannya, manakala secara resmi telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Namun, dalam revisi kali ini, kalangan DPR ingin ketentuan itu diubah, yakni penyelenggara negara tidak perlu mengundurkan diri jika hendak maju menjadi calon kepala daerah. Sebaliknya, sikap pemerintah ingin mempertahankan persyaratan yang berlaku saat ini.
Menyikapi polemik tersebut, kita harus kembali pada tujuan utama diselenggarakannya pilkada, yakni mencari pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Jabatan kepala daerah bukanlah mata pencarian tetapi sarana pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat, bangsa, dan negara.
Oleh karenanya, jabatan ini jangan sampai diperlakukan sebagai spekulasi karier politik seseorang. Dengan prinsip dasar tersebut, sebaiknya mereka yang hendak maju menjadi kepala daerah, wajib mundur dari jabatannya. Pemikiran yang ingin agar ketentuan mengundurkan diri tersebut diubah, lebih didorong syahwat kekuasaan. Sebab, dia tidak ingin kehilangan jabatan lamanya, jika kalah dalam pilkada.
Hal itu secara etika dan moral tentu tidak patut. Agar aspek etis dan moral ini bisa diwujudkan, sebaiknya diikat menjadi persyaratan formal yang diatur secara eksplisit dalam hukum positif. Apalagi, MK telah mengeluarkan putusan yang mengatur hal tersebut, dan putusan MK bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, usulan anggota DPR agar penyelenggara negara tidak perlu meletakkan jabatannya jika ingin menjadi calon kepala daerah, boleh dikata sebagai langkah mundur dalam demokrasi.
Salah satu pertimbangan utama MK adalah menjaga netralitas calon kepala daerah, dan menciptakan kompetisi yang setara antarkandidat. Bisa dibayangkan jika seorang bupati yang menjadi calon gubernur, dia bisa memanfaatkan jaringan birokrasinya untuk meraup suara, atau memanfaatkan program kerjanya untuk menarik simpati warga. Bisa dibayangkan pula, jika seorang perwira tinggi Polri atau TNI yang menjadi calon gubernur, dia bisa memanfaatkan kesatuan yang ada di provinsi itu, seperti Polres atau Kodim, untuk membantu merebut suara sebanyak-banyaknya.
Jika hal ini terjadi, ada dua ekses negatif. Pertama, terjadi penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan fasilitas kedinasan, dan melahirkan bias kepentingan dalam pelaksanaan tugas sebagai penyelenggara negara. Kedua, tercipta persaingan yang tidak sehat dalam pilkada.
Kondisi inilah yang dilihat oleh MK menerbitkan putusan yang mewajibkan semua penyelenggara negara untuk mundur jika ingin menjadi calon kepala daerah. Hal ini pula yang disadari dan juga pemerintah, sehingga ingin mempertahankan ketentuan tersebut.
Harus diakui budaya mundur belum mengakar di kalangan pejabat publik di Tanah Air demi menghindari konflik kepentingan. Namun, bukan berarti belum ada yang melakukannya. Susilo Bambang Yudhoyono, mengundurkan diri dari jabatan menko polkam saat ingin maju dalam Pilpres 2004. Langkah yang sama dilakukan Gita Wirjawan yang mundur dari menteri perdagangan, serta Hatta Rajasa yang meletakkan jawaban menko perekonomian, karena ingin maju dalam Pilpres 2014.
Mengundurkan diri dari jabatan publik demi sebuah ambisi politik, bukanlah hal yang tabu dilakukan. Hal itu juga bukan tindakan yang inkonstitusional. Justru langkah itu menunjukkan kesadaran seseorang bahwa tugas dan tanggung jawabnya di jabatan publik yang diembannya bakal terabaikan.
Secara manusiawi, panggilan untuk memenuhi ambisi politik akan lebih dominan dilakukan oleh seseorang yang tengah menduduki jabatan publik. Tugas dan tanggung jawab di jabatan publik dipastikan tidak akan maksimal. Sebab, jabatan publik adalah kerja kolektif, yang bisa didelegasikan kepada pejabat eselon di bawahnya.
Sebaliknya, mewujudkan ambisi politik merupakan kerja personal. Menjadi calon kepala daerah, dituntut untuk lebih intensif turun ke bawah memperkenalkan diri kepada masyarakat di segala lapisan, serta fokus merumuskan program kerja yang kelak akan dikampanyekan. Semua aktivitas tersebut tak mungkin dilakukannya secara maksimal jika dia masih menjabat sebagai penyelenggara negara.
Oleh karenanya, ketentuan mengundurkan diri adalah hal yang tepat, dan diharapkan menjadi tradisi baru dalam berpolitik dan berdemokrasi. Publik ingin pilkada, dan juga pilpres kelak, menjadi kontestasi yang sehat antarkandidat. Hal itu bisa terwujud jika ruang keadilan tercipta, di mana anggota TNI, Polri, anggota parlemen, dan pejabat pemerintahan bersedia mengundurkan diri jika hendak maju ke pilkada. Justru dalam situasi ini, publik akan mengukur kedewasaan seorang calon pejabat publik dalam berpolitik.
Sumber: http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/4607-etika-calon-kepala-daerah.html