Pada prinsipnya, tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.
Pernyataan di atas merupakan pendapat C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution, yang dikutip oleh Ketua Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), Dr. H.M. Soerya Respationo, S.H., M.H. ketika memberikan sambutan pada acara Temu Wicara Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Sistem Ketatanegaraan RI untuk Pimpinan dan Anggota ADEKSI, Kamis (7/6), di Jakarta.
Secara teoritis, lanjut Soerya, pembagian kekuasaan menurut bentuk negara mengkategorikan bahwa negara konfederasi menganut paham yang sangat desentralistik. Sedangkan negara unitaris menganut paham yang sangat sentralistik. Negara Kesatuan RI, menurut Soerya, tidak sepenuhnya menganut paham keduanya karena dalam UUD 1945 khususnya Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang di tiap-tiap wilayah tersebut terdapat pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota itu mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini menunjukkan dalam UUD 1945, sentralistik bukanlah sebuah pilihan dan kecenderungan kepada desentralisasi menjadi pillihan yang tak dapat dihindari dalam NKRI. Karena, secara geografis, wilayah Indonesia adalah wilayah kepulauan dan sangat plural, urai Soerya.
Jelas Soerya, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah condong pada titik sentralistik. Sedangkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah justru condong pada titik desentralistik. Dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah nampaknya berupaya pada titik keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi. Tetapi sayangnya, UU No. 32 Tahun 2004 ini ditafsirkan lebih memberi kecenderungan ke arah sentralistik kembali. Tentunya, kita tidak mengharapkan fungsi-fungsi legislatif di daerah direduksi dan dikebiri sehingga lembaga DPRD tak lagi sanggup bekerja optimal sesuai tugas dan fungsinya, katanya.
Oleh karenanya, harap Soerya, penyelenggaraan temu wicara ini dapat menjadi langkah awal khususnya bagi anggota ADEKSI untuk lebih memahami UUD 1945 yang pada tahap implementasinya, tafsir Soerya, terlalu bergerak ke sana-ke mari seolah tanpa kepastian.
Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengatakan bahwa memang betul kalau kaitannya dengan dinamika hubungan (pemerintah) pusat dan daerah dalam hal otonomi daerah, selalu sangat dinamis dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya, ungkap Jimly, Pasal 18 UUD 1945 hasil perubahan relatif merumuskan lebih rinci tentang hubungan pusat-daerah, sebab bila dibiarkan terlalu umum maka pelaksanaan dari otonomi daerah dan pelaksanaan dari mekanisme hubungan yang tepat antara pusat dan daerah digantungkan sepenuhnya pada tafsir kekuasaan. Hal itu tidak elok dan berbahaya. Maka kini ketentuannya diatur lebih lengkap dalam konstitusi, kata Guru Besar Hukum Tata Negara UI ini.
Yang lebih penting, jelas Jimly, di tengah-tengah kompetisi global saat ini, justru daerah-daerah harus kuat supaya negara, secara nasional, kokoh. Lebih baik lagi, menurut Jimly, bila bangsa Indonesia mampu memperkokoh nasionalisme dari hasil resultante pengaruh global maupun kedaerahan. Contoh analoginya, bila bahasa Indonesia ingin kuat, maka basis bahasa daerah juga harus kuat, sebab Indonesia menghadapi ancaman bahasa asing.
Sama halnya, sambung Jimly, perlu disadari bersama bahwa pemerintahan daerah dan otonomi daerah itu sejatinya harus kuat. Tapi, pihak pemerintah daerah dan DPRD juga harus menyadari bahwa otonomi daerah itu tidak identik dengan otonomi pemerintah daerah atau pejabat daerah. Otonomi daerah harus dilihat dalam konteks yang di dalamnya ada otonomi masyarakat daerah yang harus diberi hak berdaulat untuk otonom. Pemerintahan daerah hanyalah refleksi dari kedaulatan dan otonomi masyarakat daerah itu. Masyarakat diurus oleh pengurus dan pejabat di pemerintahan daerah, tegas Jimly.
Terkait dengan eksistensi DPRD, jelas Jimly, banyak yang berpendapat bahwa DPRD bukanlah lembaga legislatif melainkan bagian dari pemerintah. Padahal, papar Jimly, dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah jelas dirumuskan bahwa DPRD dengan Kepala Daerah mempunyai mekanisme hubungan yang sama seperti halnya DPR dengan Kepala Negara. Tetapi sayangnya, persepsi publik belum terbentuk seperti itu. DPRD belum dianggap sebagai legislator, katanya.
Sebelum menutup sambutannya, Jimly meminta anggota ADEKSI mengingat pesan Bung Hatta yang menerjemahkan welfare state sebagai negara pengurus. Jadi kita ini dikonsepkan oleh para pendiri republik sebagai negara pengurus, maksudnya, negara ini mengurusi kepentingan rakyat, pesan Jimly.
Selain itu, lanjut Jimly, perlu ditata pula institusionalitas DPRD melalui terciptanya visi kelembagaan untuk membangun capacity building, yang nantinya akan diteruskan oleh para pengganti orang-orang yang kini sedang menjabat. Untuk itu, diperlukan adanya blue print kelembagaan untuk menentukan fungsi lembaga untuk 20 hingga 40 tahun mendatang. Sebab, bila tak dilakukan, dari tahun ke tahun, tak akan ada perubahan kualitas organisasi kenegaraan, ujar Jimly mengakhiri sambutannya. (Wiwik Budi Wasito)