Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM Nasrudin menilai Forum Pengacara Konstitusi tidak memiliki kedudukan hukum untuk menguji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Dalam sidang Perkara No 134/PUU-XIII/2015 tersebut, Pemerintah menilai yang seharusnya mengajukan gugatan terhadap pemberlakuan Pasal 1 angka 28 UU Pilkada adalah calon kepala daerah.
“Seharusnya yang berhak melakukan gugatan adalah peserta pilkada yang merasa haknya dirugikan dengan berlakunya pasal undang-undang tersebut,” ujar dia mewakili Pemerintah di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, yaitu putusan nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan nomor 011/PUU-V/2007. “Pemohon tidak mempunya kedudukan hukum atau legal standing,” tegas Nasrudin.
Terkait dalil Pemohon yang menyatakan “hari kalender” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 UU Pilkada dihitung secara hari normal, termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari bertanggal merah menyulitkan Pemohon karena pelayanan jasa masyarakat tidak sepenuhnya dapat dilakukan, Pemerintah menjelaskan makna tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih maksimal kepada masyarakat. “Permasalahan sengketa pilkada dapat diselesaikan dalam waktu singkat sesuai dengan sistem peradilan yang cepat, murah, dan transparan,” jelasnya.
Dengan demikian, Pemerintah tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan pasal a quo telah merugikan kepentingan Pemohon, apalagi Pemohon adalah seorang advokat yang tidak terlibat langsung dalam sengketa pilkada dimaksud.
Selain itu, yang diuji oleh Pemohon adalah frasa ‘hari kalender’ yang dinilai Pemerintah tidak merugikan para Pemohon. Sebab, Pemerintah menilai kendala dan hambatan bukanlah suatu kerugian, tetapi adalah suatu keadaan objektif yang dihadapi oleh semua orang. “Apalagi profesi seorang advokat yang membutuhkan ketelitian, kecepatan, dan teknologi yang bisa digunakan untuk mempercepat suatu proses dalam pendaftaran suatu gugatan di pengadilan,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemerintah meminta MK menolak permohonan tersebut untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima. Arief memutuskan sidang diteruskan pada 24 Maret 2015 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengar keterangan ahli dari Pemohon serta keterangan dari DPR.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 28 UU Pilkada yang menyatakan “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: ... 28. Hari adalah hari kalender”.
Para Pemohon beralasan, “hari kalender” sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut dihitung secara hari normal, termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari bertanggal merah. Pada hari-hari tersebut, pelayanan jasa masyarakat tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Selain itu, penggunaan “hari kalender” juga dinilai para Pemohon tidak mempertimbangkan faktor geografis Indonesia, di mana banyak daerah yang sulit dijangkau dengan transportasi darat, sehingga harus menggunakan layanan penerbangan yang jumlahnya tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan layanan penerbangan bagi masyarakat.
“Waktu penggunaan hari kalender bila bertepatan dengan hari libur sabtu-minggu atau hari bertanggal merah akan sulit menggunakan jasa perbankan guna pembayaran terkait proses menuju Mahkamah Konstitusi guna pendaftaran perkara yang membutuhkan dana penunjang operasional para pihak yang tidak sedikit jumlahnya,” ujar Pemohon.
Selanjutnya, para Pemohon beranggapan, jika hari dalam UU Pilkada didefinisikan hari kalender, maka akan menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian sengketa, baik di tingkat Bawaslu atau Panwaslu. Selain itu, juga akan menimbulkan masalah dalam persengketaan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maupun pada persidangan perkara pidana Pilkada di peradilan umum, yang dalam kelazimannya melakukan persidangan dengan menggunakan hari kerja, bukan hari kalender.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang frasa hari adalah hari kalender tidak dimaknai sebagai hari adalah hari kerja,” tukasnya. (Arif Satriantoro/lul)