Sebanyak 33 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Parahyangan Bandung berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (3/3). Kedatangan mereka diterima oleh Peneliti MK Nallom Kurniawan di lantai 11 Gedung MK.
Mengawali pertemuan, Nallom menjelaskan kewenangan dan kewajiban MK. Seperti diketahui, kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR bila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran.
Salah satu kewenangan yang disoroti Nallom adalah kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu. Menurutnya, Indonesia merupakan negara paling demokratis di dunia. “Tidak ada satu sistem pun yang sempurna di dunia, termasuk sistem pemilu. Tapi saya berani mengatakan, negara paling demokrasi di dunia adalah Indonesia. pemilu kita menerapkan sistem one man, one vote, one value,” ujar Nallom kepada para mahasiswa.
Dikatakan Nallom, pemilu bukan persoalan sederhana. Sebaliknya, pemilu merupakan persoalan yang sangat sensitif, rumit, bahkan bisa menimbulkan kekacauan. Namun, bangsa Indonesia mampu memilih presiden, wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPRD dengan sistem one man, one vote, one value.
“Banyak yang heran Indonesia bisa melaksanakan pemilu tanpa gejolak yang berarti. Berapa agama yang ada di Indonesia, berapa etnis di Indonesia, sukubangsa di Indonesia? Jumlahnya beragam, semua ada di Indonesia,” urai Nallom.
Selanjutnya Nallom juga menyoroti kewajiban MK terkait pemakzulan Presiden. Nallom menegaskan, sejauh ini, tidak ada satu orang presiden pun di Indonesia yang turun dari jabatan sebelum habis periode jabatannya melalui proses hukum.
“Soekarno misalnya, turun dari jabatannya bukan dari proses hukum. Termasuk juga Gus Dur yang turun dari jabatannya karena proses politis,” papar Nallom.
Kendati demikian, Nallom berpendapat, demokrasi bukanlah sistem yang baik diterapkan dalam pemerintahan. Menurut Nallom, demokrasi yang mengagungkan suara mayoritas jangan menjadi sistem yang didewa-dewakan, tapi jangan juga dijauhi.
“Begitu juga dengan presiden. Begitu presiden ‘kehilangan’ temannya, mudah kan dia di-impeach? Itulah yang terjadi pada Gus Dur yang turun karena politis. Apakah itu proses hukum? Apakah begitu negara hukum?” kata Nallom mempertanyakan.
Nallom berharap, pemakzulan terhadap presiden tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, kata Nallom, kewajiban terkait pemakzulan dihadirkan di MK Indonesia maupun MK negara-negara lain, tujuannya agar presiden tidak mudah dijatuhkan. Menurut Nallom, kalau presiden mudah dijatuhkan, dampaknya sangat luas, baik terhadap stabilitas politik, ekonomi, dan sebagainya. Nallom juga menegaskan yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat kecil.
Pada bagian lain, Nallom menjelaskan bahwa saat ini MKRI dipercaya menjadi Presiden MK se-Asia. Bahkan, salah satu lembaga riset Amerika mengatakan, MKRI menjadi salah satu dari 10 lembaga yudisial terbesar di dunia. Tak mengherankan, putusan-putusan MKRI banyak dikutip berbagai kalangan. (Nano Tresna Arfana/lul)