Berbagai kisah menarik dan unik terjadi selama berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015. Cerita menarik dibalik pilkada itu terungkap saat sidang penyelesaian perkara Perselisihan Hasil Pilkada 2015 di Mahkamah Konstitusi sejak Januari hingga Maret 2016.
“Penyelesaian sengketa Pilkada terbilang paling pelik karena banyak muatan politis di dalamnya,” kata Peneliti MK Bisariyadi kepada 30 mahasiswa Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Veteran Semarang yang berkunjung ke MK, Selasa (2/3).
Salah satu sengketa Pilkada yang unik, ungkap Bisar, adalah sengketa Pilkada Kabupaten Teluk Bintuni yang mempersoalkan selisih 7 suara atau 0,04 persen antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak di Distrik Moskona Utara. Belum lama ini, MK menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut yang memerintahkan KPU Kabupaten Teluk Bintuni untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) hanya di 1 TPS, yakni TPS 1 Moyeba, Distrik Moskona Utara.
Kasus unik lainnya adalah PHP Kada Kabupaten Boven Digoel. Mahkamah menilai pemohon sengketa pilkada tersebut tidak memiliki kedudukan hukum karena pemohon bukan pasangan calon, tetapi hanya bakal pasangan calon. Sebelumnya, pemohon mendalilkan telah ditetapkan sebagai pasangan calon sesuai SK KPU Kabupaten Boven Digoel tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel Tahun 2015.
Selain itu, kasus menarik lainnya datang dari Kabupaten Bulukumba. Pemohon sengketa perkara tersebut mengganti kuasa hukum lama atas nama Accram Mappaona Aziz dengan Nurul Qamar kuasa hukum baru. Terhadap pergantian tersebut, kuasa hukum yang lama memutuskan menarik permohonan yang telah dibuatnya. Dengan ditariknya permohonan lama, Mahkamah menganggap permohonan sengketa Pilkada Bulukumba tidak ada.
Pada kesempatan itu, Bisar juga menerangkan MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Empat kewenangan MK yaitu memutus sengketa perselisihan hasil pemilu (PHPU), memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), memutus perkara pengujian undang-undang (PUU) dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan, satu kewajiban yang dimiliki MK yakni memberikan putusan atas dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh presiden/wakil presiden.
“Sampai saat ini, hanya dua yang belum pernah MK sidangkan, yaitu memutus pembubaran partai politik dan memberikan putusan impeachment,” jelas Bisar yang didampingi Sri Sayeti, Dosen PPKN IKIP Veteran Semarang.
Pada sesi tanya jawab, ada pertanyaan dari mahasiswa soal alasan MK tidak pernah memutus pembubaran parpol, mengingat begitu banyaknya parpol yang ada di Indonesia saat ini. Bisar menjelaskan, perlu syarat khusus untuk mengajukan permohonan terhadap kewenangan tersebut. Untuk pembubaran partai politik, hanya pihak pemerintah saja yang dapat mengajukan permohonan. Parpol yang dapat dibubarkan hanyalah parpol yang terbukti memiliki asas yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
“MK Jerman pernah membubarkan salah satu partai yang bertentangan dengan asas negara mereka yaitu partai yang berasaskan neo nazi. Kalau di Indonesia, misalnya partai yang berazaskan komunis sosialis dapat dibubarkan. Namun, harus tetap diperiksa dulu oleh MK apakah benar dugaan pemerintah tersebut. Ini penting untuk menjaga kebebasan berserikat dan berkumpul,” jelasnya.
Menurut Bisar, kewenangan MK memutus pembubaran parpol ibarat pedang yang memiliki dua sisi. Di satu sisi, MK dapat memutus pembubaran parpol. Namun di sisi lain, ada kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyampaikan pendapat sesuai UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/lul)