Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar uji materi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap UUD 1945, Kamis (7/6) di ruang sidang MK. Sidang Pleno ini mengagendakan mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR, Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Perkara Nomor 5/PUU-V/2007 ini dimohonkan oleh Anggota DPRD Kabupaten Lombok Lalu Ranggalawe, dengan kuasa hukum Suriahadi, S.H., dan Edy Gunawan, S.H. Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, ayat (5) huruf c, ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 alinea IV, Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada sidang ini Pemohon berpendapat UU Pemda tidak memberikan peluang dan ruang gerak bagi calon-calon independen yang bukan dari partai politik untuk bersaing dalam Pilkada. Selain itu, lanjut Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Suriahadi, S.H., selama ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebenarnya tidak benar-benar mencerminkan kepentingan masyarakat secara umum. Pemohon mencontohkan, menangnya calon independen dalam Pilkada Nangroe Aceh Darussalam (NAD) membuktikan bahwa rakyat sangat membutuhkan independensi dan mereka tak percaya lagi pada partai politik.
Pada persidangan yang juga dihadiri oleh para Petinggi Republik Mimpi, antara lain, Guru Bangsa Gus Pur, Wakil Presiden Republik Mimpi Jarwo Kwat, Habudi, dan Effendi Ghazali ini, DPR yang diwakili Anggota Komisi III DPR RI, Nursyahbani Katjasungkana menjelaskan bahwa pengaturan mengenai mekanisme pemilihan dan pengusulan pasangan calon kepala daerah melalui partai politik atau gabungan partai politik sebagimana diatur dalam UU Pemda dapatlah dibenarkan mengingat pengaturan ini tetap tidak mengesampingkan kesamaan hak setiap orang di hadapan hukum dan pemerintahan. Adapun kebebasan yang terkait dengan Hak Asasi Manusia yang secara umum diatur dalam Pasal 28D dan 28I UUD 1945 tidaklah berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya. Masih tetap diperlukan adanya pengaturan agar hak dan kewajiban dapat berjalan secara tertib dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jelasnya.
Sementara itu, Ahli dari Pemohon, Syamsuddin Haris menyatakan bahwa pembatasan calon independen dalam UU Pemda merupakan penafsiran yang keliru atas konstitusi. Pasal 56 UU Pemda tentang pasangan calon yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik justru bertentangan dengan kesetaraan hak dan kesempatan dalam pemerintahan, jelas peneliti dari LIPI ini.
Sementara itu, bakal calon Gubernur DKI yang juga menjadi saksi dari Pemohon, Faisal Basri menceritakan bahwa proses pencalonan melalui partai sebenarnya tidak pernah jelas. Bahkan, proses pencalonan yang semula oleh saksi dianggap akan berjalan dengan fair, transparan, dan demokratis, justru pada kenyataannya sangat menciderai proses demokratisasi itu sendiri. Hal ini, ungkap Faisal, salah satunya terjadi pada proses penjaringan bakal calon Gubernur DKI di Partai Amanat Nasional (PAN). PAN mengatakan kalau akan mencalonkan Agum Gumelar. Namun, kalau Agum gagal, mereka akan tenderkan. Kalau Fauzi (Bowo) 100, mereka akan tawarkan ke Adang 200. Mungkin itu seloroh, tapi seloroh itu menurut saya tidak pantas. Tetapi, itulah partai politik, papar pengamat ekonomi ini.
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengatakan bahwa MK tidak mempersoalkan siapa yang maju di Pilkada manapun, melainkan sistem seperti apakah yang lebih baik bagi dinamika politik di tanah air. Selain itu, Jimly juga berpesan kepada Pemerintah dan DPR supaya jangan selalu membela UU karena bisa jadi itu produk lama yang sudah tidak sesuai dengan masa jabatan yang ada Sekarang. Bisa jadi di kemudian hari, anda bisa saja terkena ketentuan undang-undang itu, kata Jimly sebelum mengetuk palu tanda persidangan berakhir. (Prana Patrayoga Adiputra)