Merasa keberatan usahanya dikenai kewajiban pajak, Edi Pramono menggugat Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Didampingi kuasa hukum, Edi yang berjualan bahan baku material bangunan secara eceran menyampaikan inti gugatan pada sidang perdana perkara No. 13/PUU-XIV/2016 di Ruang Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (24/2).
Syawaludin, selaku kuasa hukum Pemohon, menyampaikan latar belakang pengajuan gugatan. Syawaludin mengatakan Pemohon selaku pengusaha kecil yang mengecer semen, kapur, pasir, dan batu telah menerima surat imbauan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kudus pada 2010 lalu.
Meski sudah menerima surat himbauan tersebut, Pemohon mengaku belum mendaftarkan diri sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dan hanya memperbaiki SPT Tahunan saja. Setelah mendapatkan himbauan untuk segera mendaftar, Pemohon pun akhirnya mendaftarkan diri sebagai PKP.
Selama belum dikukuhkan sebagai PKP, Syawaludin menyampaikan bahwa Pemohon tidak memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang-barang dagangannya. Namun, ketika Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kudus mengukuhkan Pemohon sebagai PKP, Pemohon dibebani kewajiban perpajakan berlaku surut sebagai PKP. Artinya, periode sebelum Pemohon mendaftarkan diri sebagai PKP tetap dikenakan kewajiban perpajakan.
“Bahwa DJP telah mengeluarkan surat ketetapan pajak kurang bayar pajak pertambahan nilai barang dan jasa masa pajak (bukti P-10A sampai bukti P-10L) pada tanggal 21 Januari 2013 yang pada pokoknya memutuskan Pemohon dibebankan dengan kewajiban perpajakan setiap bulannya untuk masa bulan Januari sampai Desember 2009 (sebelum Pemohon ditetapkan sebagai PKP, red) dengan jumlah per bulan dasar pengenaan pajaknya 623 juta rupiah dan kewajiban lain yang harus dibayar Pemohon,” ujar Syawaludin yang mengungkapkan bahwa dalam setahun PPN oleh Pemohon total sebanyak lebih dari 1 Milyar rupiah.
Tentu saja Pemohon merasa keberatan dengan hal tersebut. Untuk itu, Pemohon mengajukan surat keberatan kepada DJP yang pada pokoknya menyatakan pengenaan PPN berlaku surut tidak dapat dibenarkan. Namun, DJP pada akhirnya menolak seluruh keberatan yang Pemohon ajukan tersebut dengan menyatakan tidak ada ketentuan yang pasti kapan dimulainya wajib perpajakan bagi pengusaha kena pajak yang berdasarkan kemauannya sendiri mendaftarkan sebagai PKP. Upaya hukum lainnya juga telah ditempuh Pemohon dengan melakukan banding ke Pengadilan Pajak, meski pada akhirnya Pengadilan Pajak menyatakan menolak banding.
Kerugian Konstitusional
Dengan adanya kewajiban perpajakan yang berlaku surut tersebut, Pemohon merasa sangat dirugikan. Selain nominalnya yang sangat besar, sebelum dikukuhkan sebagai PKP Pemohon juga sama sekali tidak membebankan PPN atas barang-barang dagangannya.
“Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak konsumsi, konsumen akhir-lah (pembeli barang dagangan Pemohon, red) yang mengonsumsi barang atau jasa kena pajak yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak pertambahan nilai. Pihak DJP harus membebankan pada konsumen bukan pada PKP atau pengusaha kena pajak. Bahwa DJP hanya bisa membebankan pada PKP bila ditemukan bukti bahwa PKP yang bersangkutan telah memungut PPN dari konsumen, tetapi tidak atau belum menyetorkan atau melaporkan pada negara,” tegas Syawaludin di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin wakil Ketua MK Anwar Usman.
Ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar DJP memberikan himbauan tersebut tercantum dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (4a) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan-ketentuan tersebut dianggap tidak memberikan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga menganggap hak konstitusionalnya untuk dapat hidup dengan merdeka tanpa siksaan juga telah diabaikan akibat keberadaan pasal a quo.
Oleh karena itu, Pemohon meminta keadilan dengan diberlakukannya aturan kewajiban perpajakan hanya dimulai saat Wajib Pajak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak berlaku secara surut.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati selaku anggota panel hakim menyampaikan saran agar Pemohon mempertajam paparan mengenai kerugian konstitusionalnya. Sebab, Maria belum melihat adanya kerugian konstitusional (kerugian atas hak yang diatur dalam Konstitusi atau UUD 1945, red) akibat berlakunya pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon.
“Di sini kerugian konstitusionalnya di mana? Jadi seharusnya yang dilihat pada hak konstitusional itu adalah Anda punya hak di Pasal 28D dan Pasal 28I, tetapi apakah pasal yang Anda mohonkan itu merupakan hak konstitusional yang kemudian terlanggar oleh undang-undang ini? Anda harus lihat itu, Pasal 2 itu Anda lihat dari pasal yang untuk batu uji. Di sini apakah hak dan kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan? Apakah pasal-pasal undang-undang tadi merugikan Anda kalau Anda lihat dari batu uji tadi. Kemudian, apakah kerugian itu bersifat spesifik? Apakah ada causal verband? Dengan adanya pasal itu, maka hak konstitusional Anda terlanggar, begitu? Dan apabila itu dikabulkan, maka potensial kerugian konstitusional itu tidak ada akan terjadi. Nah, itu yang perlu Anda jelaskan,” urai Maria.
Maria melihat, Pemohon lebih condong menggunakan aturan dari DJP sebagai implementasi UU yang merugikan Pemohon. Kalau menggunakan “pintu masuk” seperti itu, Maria khawatir gugatan Pemohon sesungguhnya hanya memasalahkan kasus konkrit dari implementasi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pemohon pun diberikan kesempatan selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Maksimal, Pemohon jarus menyerahkan perbaikan permohonan pada Selasa, 8 Maret 2016, pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Yusti Nurul Agustin/lul)