Calon Bupati Kabupaten Buru Selatan Rivai Fatsey merasa dirugikan dengan pemberlakuan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Menurutnya, aturan selisih suara maksimal 0,5%-2% antara calon pemohon untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut tidak adil.
Hal itu dipaparkan kuasa Rivai, Dudung Badrun, dalam sidang perkara Nomor 18/PUU-XIV/2016 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat. Pemohon menilai pesaingnya pada Pilkada Buru Selatan, yakni calon bupati nomor urut 2 adalah petahana, sehingga melakukan banyak kecurangan untuk memperoleh suara. Sehingga, paslon tersebut meraih suara terbanyak dalam pilkada.
Menurut Pemohon, kemenangan pasangan calon nomor urut 2 diperoleh dengan cara mendayagunakan aparat pemerintah dan melakukan money politik secara terstruktur, sistematis, dan masif sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon. “Oleh karena itu, kami merasa bahwa Pasal 158 ayat (2) ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Dudung di ruang sidang MK, Rabu (24/2).
Selain itu, Pemohon juga menguji materi ketentuan Pasal 7 huruf t UU Pilkada yang mengharuskan Pemohon untuk mengundurkan diri dari status PNS nya untuk menjadi calon Bupati Kabupaten Buru Selatan. Pemohon berpendapat, adanya aturan tersebut akan membuat Pemohon kehilangan penghidupan dan pekerjaan yang layak apabila Pemohon tidak memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan Bupati Buru Selatan, sehingga hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD 1945 jika “Ini jelas merugikan hak konstitusional dari pemohon,” imbuhnya.
Pemohon juga menguji Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada yang dinilainya tidak relevan. Ketentuan tersebut hanya memberikan waktu 3x24 jam untuk mengajukan keberatan hasil penghitungan perolehan suara. Padahal, menurut Pemohon, merujuk pada kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, hal tersebut jelas tak memungkinkan. “Ditambah akses transportasi sifatnya belum merata,” ujarnya.
Permohonan Sumir
Menanggapi permohon tersebut, Hakim Konstitusi Manahan Sitompul menyatakan perkara tersebut sumir. Sebab, secara format dan substansi banyak bermasalah. “Misal, banyak penulisan yang salah secara format. Ada yang ditulis Pasal 7 huruf t tetapi ada juga yang ditulis Pasal 7 huruf s,” ujar dia.
Adapun untuk substansi, yakni terkait masalah legal standing, Manahan mempertanyakan hubungan posisi pemohon dengan gugatan yang akan diajukan. Sebab, kata Manahan, saat ini pilkada sudah selesai. “Apakah nanti pemohon akan mencalonkan diri kembali di pilkada berikutnya atau seperti apa?” imbuhnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Arief Hidayat. Ia menyatakan substansi permohonan yang mempermasalahkan Pasal 157 UU Pilkada dirasa tidak tepat. Sebab logika terkait batas waktu pengajuan keberatan perolehan suara 3x24 jam yang terlalu pendek dirasa bersifat empirik. “Kalau bicara geografis dan akses transportasi di Papua juga sulit. Tapi mereka tak memiliki logika yang sama seperti saudara,” kata dia. (Arif Satriantoro/lul)