Burhan Manurung, pensiunanAparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri Sipil (ASN/PNS) Kementerian Perdagangan, menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara dengan Nomor 15/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Rabu (24/2) di Ruang Sidang MK.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Pasal tersebut berbunyi “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.” Pemohon menganggap adanya pasal a quo mengakibatkan Pemohon dan keluarganya tidak dapat menerima uang pensiun sepenuhnya dari PT. Taspen.
Pemohon merupakan PNS Kementerian Perdagangan yang seharusnya sudah diusulkan pensiun sesuai usia mulai tanggal 1 Maret 2008, namun hanya menerima Surat Bebas Tugas PNS Menjelang Pensiun pada 25 Januari 2008. Pada 23 Juni 2015, Pemohon baru menerima Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP) dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Padahal, jaminan pensiun baru dapat dibayarkan setelah diterbitkannya SKPP oleh Kementerian Keuangan melalui KPPN. Dengan demikian, PT. Taspen menetapkan pembayaran pensiun Pemohon sesuai dengan diterbitkannya SKPP dan bukanlah menurut tanggal usia pensiun Pemohon, sehingga Pemohon tidak menerima uang pensiun secara penuh. “Di situ disebutkan bahwa seseorang dapat melakukan penagihan kepada TASPEN, yang mestinya merupakan haknya, Namun bila lebih dari 5 tahun, PT. TASPEN tidak pernah mau membayarkan. TASPEN hanya mau membayarkan 5 tahun rapel saja,” terang Pemohon yang hadir tanpa diwakili kuasa hukum.
Pemohon juga menjelaskan telah mengajukan keberatan secara tertulis kepada PT Taspen, namun Pemohon tidak mendapatkan jawaban tertulis, dan hanya mendapatkan penjelasan lisan, yaitu keberatannya telah kedaluwarsa melewati 5 (lima) tahun setelah jatuh tempo sesuai dengan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Sehingga PNS yang belum menerima jaminan pensiun lebih dari 5 (lima) tahun sejak usia pensiun, hanya berhak menerima 5 (lima) tahun rapel dan pembayaran selanjutnya. Padahal menurut Pemohon, ketentuan a quo tidak dapat diterapkan pada ASN/PNS.
Pasalnya, menurut Pemohon, substansi yang menyangkut jaminan pensiun dan jaminan hari tua ASN/PNS tidak tertulis maupun tersirat dalam ketentuan tersebut dan pelaksanaannya merupakan penafsiran sepihak dan multitafsir. Pemohon pun meminta agar UU Perbendaharaan Negara tersebut ditujukan kepada Bupati, gubernur dan Walikota, bukan PNS.
“Selain itu, alangkah baiknya apabila Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 itu memang ditujukan kepada Bupati, Gubernur dan Walikota, bukan kepada PNS. Karena di dalam undang-undang itu adalah menyangkut hutang yang dibuat oleh pemerintah kabupaten dan kota kepada dunia usaha, tetapi oleh PT. Taspen diberlakukan kepada PNS. Sehingga harapan kami, Yang Mulia, dikecualikanlah PNS dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004, terutama untuk Pasal 40 Ayat (1),” terangnya di hadapan Majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Nasihat Hakim
Majelis hakim yang juga terdiri oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Suhartoyo menyarankan kepada pemohon untuk mengikuti struktur permohonan sesuai dengan permohonan MK. Pemohon disarankan untuk bertanya kepada Kepaniteraan MK.
“Bapak meskipun belum pernah beracara di MK, tapi dari tata naskahnya saya perhatikan dibantu oleh teman yang tahu tentang bagaimana tata cara beracara di Mahkamah Konstitusi,” papar Patrialis.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan hingga 8 Maret 2016. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)