Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Hakim Konstitusi Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM. menerima kunjungan dari Wakil Khusus Sekjen PBB tentang Situasi para Pembela HAM (Special Representative of UN Secretary General on the Situation of Human Rights Defender), Ms. Hina Jilani, Rabu (6/6). Jilani datang didampingi beberapa staf dari Direktorat HAM dan Kemanusiaan Departemen Luar Negeri RI.
Bagi Jilani, mengunjungi MK merupakan salah satu tujuan dalam 12 hari masa kunjungannya ke Indonesia untuk melakukan implementasi kegiatan wakil khusus Sekjen PBB yaitu menyampaikan laporan mengenai situasi Pembela HAM di berbagai negara serta upaya-upaya untuk meningkatkan perlindungan para pembela HAM sesuai dengan Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom.
Sesuai mandatnya, jelas Jilani, dirinya akan mencari, menerima, meneliti, dan menjawab informasi tentang situasi HAM kepada siapapun yang bertindak secara individu atau kelompok yang berusaha meningkatkan dan memberikan perlindungan terhadap kebebasan fundamental. Oleh karenanya, selama di Indonesia, saya akan menemui berbagai pihak, baik dari unsur pemerintahan maupun masyarakat, jelas Jilani di hadapan Ketua MK.
Terkait dengan situasi pembela HAM di Indonesia, Jilani juga ingin menerima penjelasan secara langsung dari Ketua MK perihal kewenangan MK terkait mekanisme pembelaan HAM di tanah air.
Menanggapi permintaan tersebut, Jimly memulai penjelasan perihal perkembangan eksistensi peradilan konstitusi di dunia yang hingga kini telah mencapai lebih dari 80 negara yang mengadopsinya. Meski tak semua negara memiliki lembaga peradilan dengan nama MK, namun lembaga peradilannya juga menjalankan fungsi seperti MK. Contohnya seperti Mahkamah Agung Amerika, India, dan Pakistan, papar Jimly.
Terkait dengan pembelaan terhadap HAM, Jimly menjelaskan bahwa MK memiliki lima fungsi, antara lain, pertama, sebagai pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution) untuk menjamin hukum yang paling tinggi dijalankan. Kedua, mengontrol demokrasi, terutama majoritarian democracy jangan sampai mengabaikan kelompok-kelompok minoritas. Ketiga, melindungi hak konstitusional warga negara (protecting the citizens constitutional rights). Keempat, melindungi hak asasi manusia (protecting human rights), tak hanya citizens rights. Kelima, menginterpretasi konstitusi (the interpreter of the constitution).
Kelima fungsi tersebut, lanjut Jimly, bila dikaitkan dengan MK Republik Indonesia, maka terkait dengan lima yurisdiksi yang dimiliki MK, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Umumnya, sambung Jimly, kepentingan-kepentingan hak konstitusional warga negara termasuk human rights, masuk ke MK melalui perkara pengujian perundang-undangan. Perseorangan warga negara Indonesia bisa mengajukan uji materi undang-undang yang dibuat dan disahkan oleh 550 anggota DPR, bila dianggap bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Semenjak empat tahun berdiri, MK telah memeriksa hampir 100 perkara uji materi undang-undang. Kira-kira 15 persennya dikabulkan oleh MK, papar Jimly.
Terkait dengan pertanyaan Jilani tentang di manakah posisi MK ketika terjadi konflik antara negara dan masyarakat, Jimly menjelaskan bahwa posisi suatu lembaga peradilan, salah satunya MK, harus ada di tengah. Hal ini terkait dengan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tak memihak, urainya.
Lanjut Jimly, selalu ada konflik seputar kepentingan antara negara dan rakyat di negara manapun di dunia ini. Untuk itu, dalam sistem demokrasi di negara manapun juga, lembaga peradilan harus berada pada posisi tengah, sebagai penyelesai konflik, kata Jimly.
Mengakhiri perbincangan, Jilani menjelaskan bahwa mulai tanggal 4 hingga 15 Juni 2007, dirinya akan mengunjungi pula pejabat-pejabat tinggi pemerintah lainnya seperti Wakil Presiden RI, Menkopolhukam, Menlu, Menhukam, Mendagri, Menhan, Menakertrans, Menneg Lingkungan Hidup, Mentan, Menkeu, Kepala BPN, Ketua MA, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala TNI. Saya juga akan melakukan kunjungan ke Aceh dan Papua, serta melakukan pertemuan dengan pejabat-pejabat daerah, kata Jilani menutup perbincangan. (Wiwik Budi Wasito)