Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU Penagihan Pajak) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/2). Frederick Rachmat yang menjadi Pemohon, melalui kuasa hukumnya Furqanto menilai ketentuan tersebut hanya mengatur teknis atau pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan.
Furqanto menjelaskan, materi dalam Pasal 34 ayat (3) UU Penagihan Pajak dengan jelas mengatur terhadap pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan dapat diajukan gugatan. Dengan demikian, maksud dan tujuan gugatan yang diatur dalam pasal aquo, hanya sebatas teknis atau pelaksanaan Surat Perintah Penyanderaan.
“Jadi bukan menyangkut substansi perkara pokok yaitu masalah kewajiban pembayaran pajak yang harus dilaksanakan oleh Pemohon. Padahal, persoalan hutang pajak dan cara bagi aparat pemerintah dalam menagih pajak guna pencapaian penerimaan negara masih perlu dicarikan cara yang lebih kondusif,” papar Furqanto.
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa menyebutkan, “(3) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri”.
Frederick merupakan Komisaris Utama PT Dharma Budhi Lestari yang dicantumkan namanya sebagai Penanggung Pajak yang telah disandera sejak 26 Oktober 2015 oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bekasi Selatan. Namun sebenarnya, kata Furganto, Pemohon sudah membayar lebih dari 50% tagihan pajak, akan tetapi tetap dilaksanakan penyanderaan terhadap Pemohon. “Oleh sebab itu timbul ikhtiar Pemohon melakukan pengujian UU Penagihan Pajak ke MK,” ucap Furqanto.
Pemohon juga menyoroti pasal lainnya, yaitu Pasal 33 ayat (1) yang mengandung multitafsir khususnya pada frasa “itikad baik” dari sudut pandang aparat pemerintah maupun penanggung pajak, dalam hal ini Pemohon. Tindakan melakukan pembayaran yang telah dilakukan oleh Pemohon, menurut Pemohon, harus dipandang sebagai suatu itikad baik, sehingga aparat pemerintah yaitu Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bekasi Selatan sudah tidak sepatutnya melakukan penyanderaan, mengingat dilakukanya pembayaran lebih dari 50% oleh Pemohon sudah merupakan itikad baik.
Oleh karena penyanderaan bagian dari proses yang merupakan perampasan kemerdekaan seseorang, menurut Pemohon, maka seharusnya penyanderaan oleh aparat pemerintah kepala kantor pelayanan pajak merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang aparat pemerintah yang besar kemungkinannya dapat terjadi ketika seseorang disandera.
Dimasukkannya keabsahan penyanderaan sebagai objek pranata praperadilan, menurut Pemohon, agar permasalahan pelaksanaan penyanderaan dapat segera diputus tanpa harus melalui proses yang cukup panjang sehingga diperoleh kepastian hukum.
Terhadap dalil permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mempertanyakan proses penyanderaan pajak itu sampai bisa terjadi pada Pemohon. “Karena bagaimanapun, ada syarat-syarat seseorang bisa disandera karena pajak,” kata Patrialis kepada kuasa hukum Pemohon.
Sementara itu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar objek permohonan tidak perlu dipisah-pisah dan objek pengujian cukup dicantumkan dalam alasan permohonan. Kemudian mengenai posita Pemohon, Wahiduddin menasehati Pemohon agar lebih menguraikan lagi. Selanjutnya, Ketua Panel Hakim Konstitusi Suhartoyo mengomentari permohonan Pemohon lebih ke persoalan hukum privat atau perdata.
“Masalah pajak yang tidak terbayar kan murni masuk wilayah hukum privat atau perdata. Bagaimana seseorang ‘wanprestasi’ pasti mengajukan gugatannya ke pengadilan perdata. Kenapa kemudian bisa masuk ke dalam penyanderaan yang merupakan upaya-upaya paksa yang biasa dilakukan pengadilan pidana,” tandas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/lul)