Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengajukan permohonan uji materi ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan panas bumi dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (UU Panas Bumi) dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Diwakili Himawan Estu Bagijo selaku kuasa hukum, Pemohon memaparkan sejumlah dalil permohonan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (24/2) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon merasa dirugikan dengan pemberlakuan Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2) UU Panas Bumi serta Lampiran CC angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan UU Pemda.
Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Panas Bumi menyebutkan, “(1) Penyelenggaraan Panas sebagaimana dimaksud dilakukan terhadap: b. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang berada di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kawasan Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung, Kawasan Hutan konservasi, dan wilayah laut.”
Sementara Pasal 6 ayat (1) huruf c UU a quo menyebutkan, “(1) Kewenangan Pemerintah dalam penyelenggaraan Panas Bumisebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi: c. pemberian Izin Panas Bumi.” Sedangkan Pasal 23 ayat (2) UU tersebut berbunyi, “Izin Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri kepada Badan Usaha berdasarkan hasil penawaran Wilayah Kerja.”
Himawan menjelaskan, jika mendasarkan kepada UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau, Pemohon sebagai Pemerintah Daerah berkewenangan dalam pengelolaan pertambangan panas bumi di wilayah lintas kabupaten atau kota di Jawa Timur.
Berdasarkan data yang dimiliki Pemohon, potensi panas bumi di Provinsi Jawa Timur mencapai ±1.296.8 MWe. Sedangkan UU No. 23/2014 terjadi perubahan, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 23 ayat (2) UU 21/2014 dan Lampiran CC angka 4 Pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan UU 23/2014 hanya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk memberikan izin pengelolaan panas bumi.
“Menurut Pemohon, hal itu bertentangan dengan prinsip otonomi yang diberikan pada daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. Dalam pembagian kewenangan pemanfaatan panas bumi, seharusnya diberlakukan prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas,” urai Himawan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Pemohon, jika dilihat dari wewenangnya masing-masing, satuan pemerintahan yang lebih dekat dengan luas, besaran, dan dampak dari pemanfaatan tidak langsung panas bumi yang berhak mengelola. Oleh karena itu, ketentuan yang diuji menurut Pemohon bertentangan dengan prinsip akuntabilitas.
Selain itu, apabila dilihat dari manfaatnya, daerah yang akan memperoleh manfaat lebih tinggi dalam pemanfaatan tidak langsung panas bumi, baik dari segi keuangan daerah maupun meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan ketentuan yang diuji memberikan kewenangan tersebut kepada pemerintah pusat, sehingga bertentangan dengan prinsip efisiensi.
Terhadap dalil-dalil tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menilai sistematika permohonan Pemohon sudah cukup baik. Hanya, ia meminta Pemohon agar menjelaskan lebih rinci terkait kerugian konstitusionalnya sebagai kepala daerah. “Selain itu Pemohon harus menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami, lebih diuraikan lagi,” tambah Maria.
Sementara itu Hakim Konstitusi Aswanto mengomentari ada kesan tergesa-gesa dari Pemohon saat menuliskan UU Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, Pemohon masih menggunakan UU MK yang lama. Seharusnya Pemohon menggunakan UU MK yang baru. “Hal lainnya, Pemohon perlu menguraikan lagi posita Pemohon,” ujar Aswanto. (Nano Tresna Arfana/lul)