Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 88 ayat (4) pada Selasa (23/2). Perkara teregistrasi Nomor 8/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan oleh 123 orang pekerja yang mengatasnamakan Aliansi Buruh Tanpa Nama.
Melalui Kuasa Hukumnya, Iskandar Zulkarnaen, Pemohon sebagai pekerja merasa berhak mendapat imbalan dan penghidupan yang layak. Hal tersebut dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga berpendapat penetapan kebijakan pengupahan harus didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang sesuai produktivitas pertumbuhan ekonomi.
“Namun sayangnya, akhir-akhir ini pemerintah menganggap tak ada rumusan baku dalam upah minimum. Malah justru memberlakukan PP No 78 Tahun 2015 sebagai acuan,” jelasnya dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo di ruang sidang MK.
Dia menjelaskan PP tersebut muncul sebagai tafsiran dari Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Ketentuan tersebut dinilai Pemohon masih memiliki ruang kosong yang memungkinkan munculnya penafsiran berbeda oleh pemerintah, serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Sehingga akhirnya pemerintah perlu mengatur lebih detail pada aturan yang lebih detail yakni PP.
“Apalagi dalam pasal tersebut tak ada kewajiban menggunakan nilai KHL sebagai komponen upah minimum. Maka dari itu, kami meminta MK pasal tersebut dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Suhartoyo menyebut itu kekhawatiran yang berlebihan. Menurutnya, akumulasi dari nilai kebutuhan hidup, nilai produktivitas, dan nilai pertumbuhan ekonomi sudah ter-cover dengan norma yang ada. “Tapi kalau teman-teman pekerja ini yang penting kan angka finansial yang diterima take home pay-nya,” jelasnya.
Semestinya, imbuh Suhartoyo, Pemohon cukup berjuang di ranah implementasi. Sebab, andai norma hukumnya berubah tapi saat perundingan tidak bisa maksimal, besaran upahnya juga akan tetap kecil. (Arif Satriantoro/lul)