Telah menjabat sebagai Bupati Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh selama dua periode, tidak membuat Darmili puas. Merasa tidak memiliki kesempatan lagi untuk menduduki kursi nomor satu di Kabupaten Simeulue, Darmili menggugat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara No. 7/PUU-XIV/2016 itu digelar Selasa (23/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
Darmili yang saat ini menjabat sebagai anggota DPRK Kabupaten Simeulue, menyatakan ingin mencalonkan diri lagi sebagai bupati Kabupaten Simeulue pada pilkada serentak 2017. Namun, niatnya tersebut harus kandas karena Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Safarudin selaku kuasa hukum Pemohon, menyampaikan argumentasi permohonan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman. Safarudin membandingkan dengan pemerintahan di Provinsi Yogyakarta yang memberikan hak istimewa terhadap periodisasi jabatan gubernur dan wakil gubernur lewat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta.
Sebagai daerah istimewa, Pemohon berharap aturan periodisasi di Provinsi Aceh termasuk di tingkat kabupaten dapat diberi perlakuan istimewa seperti halnya Yogyakarta. Untuk meyakinkan, Pemohon mengatakan rakyat Aceh sudah siap untuk menerima sistem yang sama dengan Yogyakarta. Pemohon yakin meski incumbent terus bertahkta tidak akan menimbulkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Masih coba meyakinkan Majelis Hakim, Safarudin mengatakan rakyat Aceh sangat mencintai pemimpin yang melaksanakan syariat Islam. Tidak heran, lanjutnya, Pemohon terus diminta menjadi bupati oleh tokoh masyarakat dan tokoh adat di Kabupaten Simeulue.
“Tokoh masyarakat dan tokoh adat di Kabupaten Simeulue menginginkan Pemohon untuk menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Simeulue setelah sebelumnya menjabat 2 kali masa jabatan dengan masa tugas terakhir 27 Maret 2012. Hal ini karena Pemohon pada saat menjabat sebagai Bupati Kabupaten Simeulue sangat konsisten dalam menegakkan syariat Islam dan kehidupan adat istiadat di Kabupaten Simeulue,” ujarnya.
Akibat dari berlakunya pasal a quo, Pemohon merasa telah didiskriminasi. Padahal, Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga meminta Mahkamah untuk menyatakan pasal a quo harus dimaknai bahwa gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama.
Saran Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto selaku anggota panel hakim memberikan saran yang dapat dipakai Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Salah satu saran yang diberikan Aswanto yaitu perlunya penajaman dalam argumentasi yang dipakai oleh Pemohon mengenai kesamaan antara pemerintahan di Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Aceh.
Menurut Aswanto, sesungguhnya terdapat perbedaan di antara keduanya. Bila di Yogyakarta gubernur ditunjuk sementara di Aceh tidak dilakukan hal yang sama. “Anda selalu mengulang berkali-kali bahwa Aceh dengan Yogyakarta itu sama, padahal sebenarnya pemilihan gubernur di Aceh dengan Yogya itu tidak sama. Kalau Yogya kan penunjukan, kemudian Yogya sekalipun penunjukan tetap menggunakan atau berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Sementara Aceh kan ada undang-undang tersendiri. Nah, ini yang harus menguraikannya secara obyektif,” ujar Aswanto.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati juga membenarkan bahwa di antara kedua daerah dimaksud sebenarnya berbeda. Seperti diketahui Maria merupakan pakar hukum perundang-undangan sehingga Maria menjabarkan lebih detail perbedaan keduanya.
Menurut Maria sifat keistimewaan Aceh terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi bersumber dari syariat Islam. Hal itulah yang kemudian melahirkan budaya Islam yang kuat di masyarakat Aceh. “Keistimewaan Aceh terletak di sini, ketahanan dan daya juang yang berlandaskan syariat Islam. Hal itu berbeda dengan keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta,” terang Maria.
Dalam penjelasannya tersebut, Maria menyarankan agar Pemohon melihat kembali perbedaan keistimewaan yang diberikan dalam peraturan perundang-undangan untuk suatu daerah tertentu. Sebab, keistimewaan yang diberikan berbeda-beda dan tidak bisa disamaratakan.
Sidang untuk perkara ini akan dilanjutkan setelah Mahkamah memeriksa perbaikan permohonan yang paling lambat harus diserahkan Senin, 7 Maret 2016, pukul 10.00 WIB. (Yusti Nurul Agustin/lul)