Sejumlah mantan anggota DPRD Kabupaten Sukabumi periode 2004-2009 dan/atau 2009-2014 mengajukan uji materi UU No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Bebas KKN (Pasal 2 Angka 2 dan Angka 6) dan UU No 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (Pasal 122 huruf I dan huruf M). Sidang perkara teregistrasi nomor 4/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Selasa (23/2).
Mewakili Pemohon, Kuswara menilai terjadi diskriminasi pada ketentuan Pasal 2 angka 4 dan penjelasannya serta Pasal 2 angka 6 dan penjelasannya UU 28/1999. Ketentuan tersebut hanya mengakui pemerintah daerah gubernur, wakil gubernur, bupati, dan walikota sebagai pejabat negara. “Sementara wakil bupati, wakil walikota, anggota DPRD provinsi, dan Para Pemohon selaku Anggota DPRD Kabupaten Periode 2004-2009 dan/atau 2009-2014 tidak diakui sebagai pejabat negara,” papar Kuswara di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Pemohon, DPRD Kabupaten/Kota juga merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan di daerah. Tidak diakuinya Pemohon sebagai pejabat negara, imbuh Pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencerminkan diskriminasi dalam hukum. “Sebagai salah satu contoh nyata adalah gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota mendapatkan tunjangan bulanan ke-13 pada saat menjabat dan setelah masa jabatannya berakhir mendapatkan dana 7 pensiun dari negara,” jelasnya.
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyinggung definisi kepala daerah dan DPRD sebagai pejabat negara. “DPRD dan kepala daerah memang termasuk penyelenggara pemerintah daerah. Namun, jika dikatakan sebagai pejabat negara tidak tepat,” ujarnya menjelaskan.
Perbedaan kepala daerah dan DPRD, jelas Maria, bupati dan walikota merujuk pada Undang Undang Pemerintah Daerah berhak untuk mewakili dan juga sebagai representasi daerah. Misalnya untuk bertindak atas nama daerah di dalam dan di luar pengadilan. Sementara DPRD tidak dapat melakukan itu.
“Pejabat negara hakikatnya mengacu pada trias politica, yakni jika dia berasal dari lembaga yang berfungsi sebagai legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Adapun DPRD tak terkategorikan dalam ketiganya, sehingga anggota DPRD tak dapat dikategorikan pejabat negara,” jelas Maria.
Di sisi lain, Hakim Konstitusi Aswanto menyatakan permohonan yang diajukan Pemohon tak mengandung norma konstitusi yang kuat. Fokus permohonan tersebut, menurut Aswanto, justru sebatas pada hal yang bersifat material, yakni memerinci uang tunjangan bagi seorang pejabat negara jika sudah pensiun menjabat. “Justru saya tak menemukan pertentangan norma konstitusinya. Ini lebih bersifat berbicara tentang implementasi suatu UU,” jelasnya.
Aswanto menyarankan jika permohonan masih ingin terus dilanjutkan, maka harus diperbaiki. Perbaikan antara lain dengan membangun kerangka berpikir konseptual dan melakukan elaborasi. Misal, melakukan komparasi dengan negara lain terkait uang tunjangan mantan pejabat negara. (Arif Satriantoro/lul)