Pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta merupakan kepentingan seluruh lapisan masyarakat Jakarta. Akan tetapi, hingga saat ini, jumlah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur baru dua pasang dan hanya berasal dari partai politik karena pemunculan calon independen belum dimungkinkan. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa proses pilkada akan mencederai hak-hak politik warga Jakarta.
Kekhawatiran itu disampaikan oleh Edi Saidi yang mewakili Poros Jakarta untuk Demokrasi saat mendatangi Mahkamah Konstitusi hari Rabu (6/6). Poros Jakarta merupakan satu dari sekian organisasi masyarakat yang terhimpun dalam Masyarakat Sipil Jakarta untuk Pilkada yang Berkeadilan Sosial dan Demokratis.
Kedatangan Masyarakat Sipil Jakarta ke MK bermaksud mendesak agar proses judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dapat segera diputus sehubungan dengan pelaksanaan pilkada DKI Jakarta yang akan segera dimulai. Mereka diterima oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK Agus Prawoto, Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan Kasianur Sidauruk, dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Zainal Arifin. Hadir pula Kepala Bagian Administrasi Perkara Muhidin dan Kepala Subbagian Media Massa Heru Setiawan.
Dalam kesempatan itu Edi Saidi menyampaikan bahwa sebagian masyarakat Jakarta saat ini sudah tidak percaya lagi terhadap proses politik yang dijalankan oleh partai-partai politik. Menurutnya, pencalonan yang dibatasi hanya melalui pintu partai politik, selain mengebiri hak warga untuk berpartisipasi dalam pilkada juga membuka peluang praktik manipulasi dan politik uang.
Menanggapi desakan tersebut, Kasianur Sidauruk mengatakan bahwa proses persidangan yang berjalan di MK selalu mengacu pada ketentuan yang ada dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sehingga tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Termasuk juga mengenai proses pemeriksaan perkara yang ketentuan berapa lamanya juga telah diatur dalam undang-undang tersebut. Hal ini merupakan perwujudan dari independensi MK sebagai lembaga peradilan.
Kasianur juga menambahkan bahwa MK menyadari harapan dan keinginan sebagian warga Jakarta yang menghendaki agar proses pengambilan keputusan terhadap pengujian UU Pemda dapat dipercepat karena terkait dengan proses pilkada gubernur DKI Jakarta. Akan tetapi, proses pemeriksaan perkara di MK sangat bergantung pada proses persidangan itu sendiri yang memungkinkan terjadinya pengembangan. Dengan demikian tidak dapat diperkirakan berapa lama suatu perkara akan dapat diputus. Apabila ingin meminta dipercepat, sebaiknya masyarakat membuat surat resmi kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, sarannya.
Sementara Zainal Arifin menjelaskan, MK tidak mengadili orang per orang namun mengadili norma yang terkandung dalam UU. Setiap putusan yang dibuat MK bersifat final dan akan mengikat bagi seluruh warga negara sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan pertimbangan yang sangat matang sebelum memutusnya. "Dibutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak dan ahli sebagai bahan masukan para hakim MK untuk mengambil keputusan," lanjut Zainal memaparkan.
Zainal juga mengingatkan bahwa proses pilkada di DKI tidak hanya bergantung pada UU Pemda, namun juga UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan DKI Jakarta yang saat ini sedang dilakukan legislative review di DPR. Selain itu, kunci utama dalam penentuan waktu pilkada bukanlah MK melainkan KPU DKI Jakarta.
Bukan Sidang Putusan
Pada saat yang hampir bersamaan, Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. di hadapan para wartawan mengatakan bahwa sidang pengujian UU Pemda yang akan dilangsungkan pada 7 Juni 2007 bukan sidang pembacaan putusan seperti informasi yang beredar di masyarakat selama ini. Sidang yang dilangsungkan bertepatan dengan hari terakhir batas waktu pendaftaran calon gubernur DKI Jakarta tersebut mengagendakan mendengarkan keterangan dari para ahli yang diajukan oleh pemohon serta pemerintah dan DPR, sehingga masih memerlukan waktu pemeriksaan sebelum diputus.
Pengajuan judicial review UU Pemda di Mahkamah Konstitusi dimohonkan oleh Lalu Ranggalawe, seorang anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah yang bermaksud mengikuti pilkada melalui jalur independen. (ardli)